Industri farmasi minus sepanjang pandemi. Tingginya bahan baku obat impor dan turunnya angka kunjungan ke rumah sakit ditengarai jadi penyebabnya
Lumpuhnya banyak sektor bisnis akibat dihantam pandemi Covid-19 membuat banyak pihak hanya bisa mengelus dada. Sebaliknya pandangan bahwa bisnis farmasi 'panen besar' di masa pandemi malah kondisinya tidak jauh beda, amsyong. Lho kok bisa?
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Andreas Bayu Aji, mengatakan, selama pandemi peningkatan hanya terjadi pada obat Covid-19 yang jumlahnya hanya sekitar 20 item, sedangkan obat umum berjumlah lebih dari 250 item.
Belum lagi, pada masa pandemi selain masyarakat yang takut ke rumah sakit atau klinik tak sedikit pula dokter yang khawatir menerima pasien.
"Akibatnya produksi obat berkurang, serapan bahan baku pun berkurang yang akhirnya berdampak pada Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBFBO)," ujar Andreas menjawab TrustNews.
"Industri farmasi dalam negeri masih harus menanggung beban biaya untuk mendatangkan langsung (impor) bahan baku obat (BBO) dari China dan India," tambahnya.
GPFI mencatat pertumbuhan industri farmasi pada kuartal III/2020 maksimal mencapai sekitar 7 persen. Pasalnya, tren penurunan kunjungan pasien ke rumah sakit pada kuartal II/2020 terus berlanjut pada Juli-September 2020.
Adapun, pertumbuhan tersebut didorong oleh tingginya permintaan obat imunomodulator dan suplemen kesehatan.
Pertumbuhan industri farmasi akan melandai secara tahunan pada kuartal IV/2020 ke kisaran 6-6,5 persen. Ini disebabkan oleh frekuensi konsumsi obat imunomodulator yang tidak bisa terus-menerus.
Sedangkan di kuartal I/2021, data IQVIA yang selama ini dijadikan acuan industri dalam menyusun kinerja, mengungkap industri farmasi hingga kuartal I/2021 kinerja masih terpantau minus 12,6%.
Pada saat pandemi ini, semua negara rebutan suplai bahan baku. Di tengah kondisi keterbatasan suplai tersebut, negara penghasil BBO menetapkan kebijakan membatasi ekspornya. Ini bertujuan memastikan ketahanan kesehatan negaranya masing-masing.
Hukum ekonomi pun bicara, harga bahan baku tersebut menjadi naik dan calon pembeli wajib jeli melihat suplier bersaing harga.
"Saat ini hampir 90% bahan baku industri farmasi masih diimpor. Namun sama halnya dengan semua produk lainnya yang diimpor, ada banyak sekali supplier dari berbagai negara sehingga tidak kesulitan mendapatkannya dengan harga bersaing," tutur Andreas.
Pelaku usaha farmasi Indonesia, lanjutnya, sudah berusaha untuk membuat BBO dan saat ini sudah ada beberapa BBO yang diproduksi di Indonesia namun tidak dapat berkembang.
"BBO dalam negeri kalah bersaing dengan harga BBO luar negeri, khususnya China dan India. Perlu adanya jaminan pemerintah secara regulasi untuk memastikan investasi bahan baku domestik dilindungi dan dipakai oleh perusahaan dalam negeri," paparnya.
Dalam upaya mendukung industri farmasi di Indonesia, menurutnya, ada 3 hal penting terkait regulasi yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, perlu ada sinkronisasi dalam pembuatan kebijakan agar tidak ada “tumpang tindih” dalam setiap kebijakan yg dibuat.
Kedua, ada konsistensi yang disertai dengan evaluasi untuk memastikan bahwa regulasi yang dibuat memang dapat dilaksanakan dan mencapai tujuan sesuai yang diharapkan.
"Jika tidak maka harus segera dilakukan perbaikan agar tidak menghambat atau menjadi “bottleneck” dalam sebuah proses," ujarnya.
Ketiga, libatkan asosiasi pelaku usaha sebelum membuat sebuah kebijakan bukan sekedar formalitas, namun dibuat forum diskusi yang transparan.
"Pelibatan pihak asosiasi atau swasta bukan sekedar formalitas tapi memang benar-benar dilibatkan. Sehingga meminimalkan efek resistensi ataupun inefisiensi dari sebuah kebijakan," ungkapnya.
Andreas menjelaskan, industri farmasi merupakan industri dengan proses yang sangat unik dan “highly regulated” dan rigid, sehingga berbeda dari industri lainnya. Karena wajib mengikuti aturan current Good Manufacturing Practice (cGMP) atau di Indonesia dikenal dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
"Aturan yang ketat dan rigid membuat upaya automatisasi dalam konsep Industri 4.0 menjadi tidak bisa sebebas-bebasnya dan harus mengikuti aturan proses yang berlaku," ungkapnya.
"Bukan berarti industri farmasi tidak atau belum siap menerapkan konsep Industri 4.0. Dalam rantai pasokan produk, farmasi sudah menjalankan digitalisasi maupun menggunakan peralatan dengan teknologi terkini untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta kecepatan dalam memenuhi kebutuhan produk farmasi bagi masyarakat," pungkasnya. (TN)