trustnews.id

APKASINDO Petani Sawit Pahlawan Bangsa
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung

APKASINDO Petani Sawit Pahlawan Bangsa

NASIONAL Kamis, 09 September 2021 - 08:28 WIB TN

Produktifitas sawit di bawah standar berujung rendahnya penghasilan petani. Tidak hanya pemakaian bibit sawit ilegal, keterbatasan infrastruktur perkebunan sawit dalam hutan juga menjadi penyebabnya.

Seorang teolog Prancis abad ke-12 Alain deLille menulis Mille viae ducunt homines per saecula Romam, dalam bahasa yang lebih sederhana, "banyak jalan menuju Roma'.

Dalam konteks membela negara, peribahasa 'banyak jalan' tidak hanya identik dengan mengangkat senjata, sebagaimana yang pernah dilakukan para pejuang kemerdekaan pada jaman dahulu.

"Bela negara bisa dilakukan sesuai profesi kita masing-masing dan tidak harus dengan mengangkat senjata. Petani sawit bila mengelola lahannya dengan baik itu sudah masuk kategori bela negara," ujar Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Medali Emas Manurung kepada TrustNews.

Mengelola lahan sawit yang dimaksud Gulat, jika seorang petani sawit melakukan 4 hal yakni replanting untuk meningkatkan produktifitas.

Kedua melakukan pemupukan yang baik dan benar. Ketiga, menggunakan bibit unggul bila tidak melakukan replanting. Keempat, ikut dalam kelompok tani atau koperasi. Tujuannya agar lebih mudah dalam melakukan monitor.

"Petani sawit yang melakukan empat langkah tersebut, bagi APKASINDO dianggap telah membela negaranya, jadi tidak mesti angkat senjata baru dinilai membela negara," tegasnya.

Gulat mengungkap, APKASINDO pernah melakukan penelitian di seluruh perwakilan yang berada di 144 kabupaten/kota yang tersebar di 22 provinsi. Diketahui, rata-rata kepemilikan lahan sawah tiap petani hanya 4,18 per hektare.

"Per petani ini artinya perkelompok per kepala keluarga atau per rumah tangga. 4,18 hektar itu pendapatannya per hari ini. Kita lihat produktivitasnya masih jauh di bawah standar yang dikeluarkan oleh BPDPKS Medan," ungkapnya..

Dia pun menjelaskan lebih detail, "Produktivitasnya itu antara 600 kg sampai 1,3 ton per hektar per bulan. Dengan rendemen rata-rata antara 18-20 persen Itu kan masih rendah. Harusnya minimum dia dapat 2 ton sampai 3,5 ton. Rendemen rata-rata 23-24 persen. Nah jadi dengan rata2 4,18 hektar dan pendapatannya 600 kilogram-1,3 ton ini range pendapatan mereka masih rendah," paparnya.

Gulat pun berhitung, "Dengan produktivitas dan hasil rendemen sebesar itu, bila dirupiahkan antara Rp2,7 juta sampai Rp4,2 juta per 4,18 hektar. ini masih pendapat kotor.Kalau di kurang dengan biaya pengeluaran, maka penghasilan bersih sekitar Rp400 ribu per hektar sampai Rp600 ribu per hektar," urainya.

"Kecuali harga Tandan Buah Segar (TBS) di atas Rp2.500 per kilogram sampai Rp3.000 per kilogram mungkin dengan produktifitasnya 600 kg sampai 1,3 ton sudah lumayan," tambahnya.

Satu hal yang mengejutkan dipaparkan Gulat, hampir 64 persen-66 persen petani sawit di Indonesia menggunakan bibit sawit yang tidak jelas asal usulnya alias bibit sawit ilegal.

Dia pun mengkalkulasi, dari 6,78 hektar sawit petani dikalikan 66 persen (bibit sawit ilegal) berarti 4,47 juta hektar itu bibitnya berada pada kelompok bibit yang ilegal. ini berarti tidak akan pernah mencapai titik maksimum.

"Saya berani simpulkan itu 64 sampai 66 persen itu bibitnya ilegal yakni benih kelapa sawit tanpa label/sertifikat atau dikenal sebagai benih sawit palsu," tegasnya.


'Titik maksimumnya itu 2,5 ton sampai 3,5 ton. Buktinya apa, yang ditanam Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang sudah panen itu pada umur 3 tahun per hari ini, ini mereka sudah mendapatkan produksi 2,1 ton per hektar per bulan dengan rendemen rata-rata 23 persen. Padahal baru umur 3 tahun dengan musim tanam 2018 sekarang sudah pada panen," paparnya.

APKASINDO, menurut Gulat, terus mengajak para petani sawit untuk menyukseskan PSR. Meski diakuinya ada banyak kendala pada program ini, yakni meleset dari target 500 ribu hektar yang ditargetkan selama tiga tahun.

Namun fakta di lapangan, sejak tahun 2016 hingga Desember 2020 sebesar 200 ribu hektar. "Artinya masih di bawah 50 persen dari 500 ribu hektar target," jelasnya.

"Kenapa lambat karena banyak petani yang mengajukan PSR ditolak sebab diklaim masuk dalam kawasan hutan. Ini didominasi petani mandiri atau swadaya," ujarnya.

"Negara ini kan dibentuk untuk mensejahterakan rakyatnya secara berkeadilan. Negara tahu ada rakyatnya yang punya kebun sawit di dalam hutan, ayo dong buatkan jalan biar rakyat juga ikut menikmati pembangunan dan program PSR dapat terwujud," pungkasnya. (TN)