trustnews.id

Mengurai Kemacetan, Membangun Publik Transportasi
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID,. - Permasalahan kemacetan di kota-kota besar, khususnya Jakarta, merupakan pemandangan sehari-hari dan menjadi masalah klasik yang belum terurai dari beberapa era kepemimpinan. 

Mengutip pemberitaan dari sejumlah media, berdasarkan daftar kota termacet yang dirilis TomTom Traffic Index 2022 baru-baru ini, Jakarta menempati posisi ke-29 dari 389 kota dunia. Di ASEAN, Jakarta menempati urutan pertama kota paling macet. Di bawah Jakarta, ada Bangkok di posisi ke-57, disusul Singapura pada posisi ke-127, dan Kuala Lumpur pada tempat ke 143. TomTom melakukan riset terhadap 389 kota di 56 negara dan enam benua di dunia. Penentuan kota termacet itu didasarkan pada perhitungan waktu perjalanan, biaya BBM, emisi karbon, dan kemudahan akses antarkota. 

Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 21,75 juta unit, atau tumbuh 7,6 persen dengan proporsi tertinggi adalah sepeda motor mencapai 75,92 persen, sebaliknya pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen/ tahun dan diperparah dengan kondisi jalan yang rusak serta penutupan sebagian jalan karena proyek abadi gali tutup lubang utilitas bawah tanah.

BPS juga merilis data dalam 5 tahun terakhir, cakupan pelayanan transportasi publik di Jakarta sudah meningkat hampir dua kali lipat, dari 42 persen menjadi 82 persen. 

Keterkaitan antara transportasi umum atau integrasi antarmoda harus menjadi perhatian, sebab mengutip halaman bptj. dephub.go.id, salah satu hal yang membuat angkutan umum tidak nyaman adalah tidak adanya integrasi antarmoda. Ini membuat masyarakat harus mengeluarkan upaya ekstra, baik secara fisik maupun materi, untuk sampai ke lokasi tujuan. 

Masih berdasarkan data TomTom Traffic Index 2022, kemacetan Jakarta "yang nggak ada obatnya" itu, diakibatkan oleh dominasi kendaraan pribadi versus angkutan umum. Sebagai pembanding, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota mencapai 26,37 juta unit pada 2022. Jumlah ini meningkat 4,39% dari tahun sebelumnya (year-onyear/yoy) sebanyak 25,26 juta unit. 

Sementara, jumlah pengguna transportasi umum massal harian di Jabodetabek baru mencapai 30 persen dari total 88 juta jumlah perjalanan harian, yang mayoritas beraktivitas di Jakarta. Ini disokong hampir 500.000 unit angkutan publik yang hanya 2 persen populasi kendaraan di Jabodetabek. 

Hot Marojahan Hutapea, Kepala Bagian Humas BPTJ, secara berseloroh soal menghindari kemacetan. "Keluar rumahnya jam 3 pagi kali ya baru bisa nggak macet." 

Meski kemudian dilanjutkannya, "Kalau semua pemilik kendaraan keluar pada jam yang sama (jam 3 pagi) ya sama saja macet."

Adapun dalam versi seriusnya, dia mengatakan, BPTJ mengacu pada Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) guna memperlancar pembangunan infrastruktur moda angkutan umum. RITJ adalah program acuan pembangunan, pengembangan dan pengoperasian transportasi se-Jabodetabek dalam rangka integrasi pelayanan transportasi yang tertib, lancar, efektif, efisien, aman, nyaman dan terjangkau oleh masyarakat tanpa dibatasi oleh wilayah administratif. 

"RITJ adalah program yang memadukan tugas dan fungsi BPTJ dalam mengintegrasikan penyelenggaraan transportasi di Jabodetabek. Selain itu, tujuan diberlakukannya RITJ salah satunya untuk mengurangi kemacetan di Jabodetabek dan mempermudah perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain," ujarnya. 

Untuk upaya mengurangi kemacetan, lanjutnya, pertama dengan konsep push and pull. Kedua, pembangunan publik infrastruktur yang terintegrasi. 

"Push itu kita mendorong agar masyarakat patuh dengan peraturan yang ada, misalnya kalau melanggar langsung ditindak, selain itu untuk pull kita perlu menarik para warga agar mau menggunakan transportasi umum,” ujar Hot Marojahan Hutapea menjawab TrustNews.

"Kalau push and pull benar-benar dijalankan, pertanyaannya apakah publik transportasinya sudah siap. Karena kita memindahkan masyarakat pengguna kendaraan pribadi ke transportasi umum, seperti MRT, LRT, BRT/BTS hingga kereta komuter. Kalau belum siap atau terintegrasi upaya pemindahan tersebut akan sia-sia," paparnya. 

Hal menarik diungkap Marojahan, yakni hubungan kemacetan dengan anggaran pengelolaan transportasi daerah (Jabodetabek) yang berbeda porsinya. 

"Setiap daerah itu punya visi misi dalam membangun daerahnya. Ini berimbas pada anggaran yang berbeda porsinya antara satu wilayah dengan wilayah lain. Nggak usah jauh-jauh nih, DKI Jakarta itu punya porsi yang cukup tinggi 80 persennya digunakan untuk pengelolaan transportasi," jelasnya. 

"Kemudian perbedaan yang menonjol di wilayah lain seperti di Bogor, dan Bekasi itu mereka belum konsen terhadap pengelolaan dan pengembangan transportasi. Ini yang menjadi PR bersama bagi BPTJ untuk bisa mengintegrasikan bagaimana caranya porsi anggaran yang berbeda bisa samasama menunjukkan transportasi yang terintegrasi" pungkasnya.