Ketidakmerataan peserta didik, kesenjangan guru, ketidakmerataan guru, jomplangnya sarana prasarana antar sekolah tergambar melalui sistem zonasi.
Dua keponakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, tidak lolos dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi di Sidoarjo.
Untuk SMA I Negeri Sidoarjo, si kembar Cintania dan Cantika mendaftarkan PPDB sistem zonasi melalui japres non akademik. Cintania bermodal medali emas Kejurnas Pencak Silat dan medali perak lomba robot tingkat nasional. Sementara Cantika bermodal medali emas lomba story telling tingkat nasional dan medali perak lomba film indie tingkat nasional.
Hanya saja, keduanya tidak lolos SMA yang diidam-idamkan. Padahal bila dilihat dari jarak rumah ke sekolah berjarak sekitar 2,4 kilometer.
Anwar Hudijono, ayah dari si kembar, merupakan adik kandung dari Mendikbud Muhadjir Effendy. Ia merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Sedangkan Mendikbud anak keenam dari pasangan Soeroya dan Sri Subita.
"Sebenarnya memang banyak teman-teman yang menanyakan, kenapa tidak bisa masuk di SMA Negeri I Sidoarjo. Padahal memiliki prestasi di tingkat nasional. Tapi kami yakin itu keputusan terbaik dari panitia PPDB Sidoarjo," ujarnya.
Meski begitu, Hudijono, menilai sistem zonasi merupakan sistem yang terbaik. Harapannya, tidak hanya sekolah favorit yang terpenuhi bangkunya oleh siswa baru. Termasuk sekolah-sekolah yang ada di pinggiran Kota Sidoarjo.
Kisah Cintania dan Cantika merupakan potret kecil perihal sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB ) 2019 yang banyak menuai keluhan masyarakat. Ini terkait infrastruktur yang belum merata di Indonesia, mulai dari sarana dan prasarana sekolah hingga kesenjangan guru, termasuk hilangnya status sekolah favorit.
Bagi Muhadjir Effendy, sistem zonasi merupakan jalan untuk menemukan solusi-solusi atas permasalahan pendidikan di Indonesia.
"Ibarat wajah kalau dari jauh kelihatan halus tapi kalau setelah di-close-up dekat kelihatan bopeng-bopengnya itu. Ini setelah tahu masalah ini, akan kita selesaikan per zona mulai dari ketidakmerataan peserta didik, kesenjangan guru, ketidakmerataan guru, jomplangnya sarana prasarana antar sekolah," ujar Muhadjir Effendy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6).
Dia mengatakan, melalui sistem zonasi ini, pemerintah daerah akan lebih fokus melihat masalah yang ada di sekolah-sekolah daerahnya. Pemerintah daerah bisa sadar banyak sekolah yang perlu ditingkatkan mutunya.
Muhadjir juga mengingatkan bahwa peningkatan itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. "Karena uangnya ada di daerah, ya tinggal kita meminta mereka agar membenahi banyaknya kontroversi. Bahwa sudah banyak yang sadar bahwa di daerahnya sekolahnya masih belum sebagus seperti yang didengung-dengungkan," ujar Muhadjir Effendy.
Mengenai kurangnya sekolah negeri di beberapa daerah, Muhadjir mengakui, hal ini menjadi salah satu masalah dalam sistem zonasi.
Sebab, tidak semua zona memiliki sekolah negeri yang cukup untuk menampung siswa di wilayah tersebut.
Menurut Muhadjir Effendy, sistem ini justru juga akan mempermudah pemerintah memetakan kebutuhan sekolah negeri baru. "Jadi akan ketahuan nanti, kecamatan mana yang enggak ada SMP-nya atau hanya ada ada 1 SMA. Coba dulu-dulu kan enggak ada yang tahu itu, daerah tenang-tenang saja," ujar Muhadjir.
Akibat sistem ini, banyak juga siswa yang tak tertampung sekolah negeri. Akhirnya mereka memilih masuk ke sekolah swasta.
Muhadjir mengatakan, kondisi ini justru bisa memaksa Pemda untuk meningkatkan kualitas sekolah swasta.
Dengan demikian, kata dia, sekolah negeri dan swasta di setiap daerah mengalami perbaikan dari segi infrastruktur dan kualitas pengajarannya.
"Tanggung jawab pemda untuk meng-upgrade sekolah swasta agar standar minimum sekolah swasta dapat terpenuhi," kata Muhadjir.
Muhadjir memahami dirinya menjadi target kekesalan masyarakat terhadap sistem zonasi ini. Padahal, pihak yang seharusnya paling punya tanggung jawab besar adalah pemerintah daerah.
Pemda punya tanggung jawab meningkatkan kualitas sekolah secara merata di wilayah masing-masing.
"Memang yang disumpah serapah itu saya, tetapi yang bertanggung jawab, yang diprotes itu ya daerah-daerahnya. Daerah harus menyadari, harus sadar, dan segera bertindak untuk memenuhi layanan dasar kepada rakyat-rakyatnya," ujar Muhadjir.
Pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB 2019 dinilai menjadi tantangan bagi sekolah yang dianggap favorit. Sebab sekolah-sekolah favorit selalu menjadi sekolah terbaik karena memang mendapatkan siswa yang cenderung dengan prestasi bagus.
"Pasti mereka (sekolah favorit) menjadi sekolah terbaik karena yang daftar dan masuk di sana adalah siswa-siswa terbaik dari sekolah sebelumnya," kata pengamat pendidikan Rachmat Hidayat dalam Forum Grup Discussion (FGD) yang digelar Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Jember di gedung FKIP, Senin (24/6/2019).
Sistem zonasi, sambung Rachmat, akan memaksa sekolah menerima siswa dengan nilai tertinggi hingga terendah. Di situlah sistem pembelajaran di sekolah tersebut akan diuji.
"Ini menjadi tantangan untuk sekolah favorit. Karena siswanya benar-benar beragam kemampuan," katanya.
Selain itu, Rachmat menilai selama ini akses terhadap sekolah-sekolah negeri terbaik hanya dapat diakses oleh kalangan minoritas masyarakat menengah ke atas.
"Preferensi penggunaaan nilai UN (Ujian Nasional) sebagai justifikasi dalam PPDB hanya menguntungkan mereka," tambahnya.
Oleh karena itu, Rachmat sepakat dengan pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB 2019. Walau pun masih diperlukan banyak perbaikan, menurut Rachmat pemberlakuan sistem zonasi merupakan langkah yang tepat.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Jember-Lumajang, Lutfi Isa Anshori mengatakan, sistem apapun yang digunakan dalam PPDB, pasti ada banyak siswa yang tidak bisa diterima di sekolah negeri.
"Pada tahun 2019, SMA/SMK negeri sederajat di Jember hanya mampu menampung sebanyak 5.679 siswa. Padahal, jumlah peserta yang ingin mendaftar ke SMA/SMK negeri sederajat pada tahun 2019 sebanyak 11.493. Jika mengacu pada data itu, maka akan ada sebanyak 5.814 calon siswa yang tidak bisa sekolah di SMA/SMK negeri sederajat di Jember. Artinya mau pakai sistem zonasi atau pun sistem arisan pasti akan ada ribuan siswa yang tidak mendapatkan sekolah negeri," terang Isa.
Menurut Isa, kekecewaan wali murid yang ditolak oleh sekolah sebenarnya setiap tahun selalu ada. Hanya saja kelompok yang kecewa ini berubah.
"Kalau dulu yang kecewa biasanya wali murid yang nilai dan prestasi anaknya tidak terlalu tinggi, dan itu dianggap biasa. Namun tahun ini justru anak yang dianggap berprestasi terpaksa kecewa setelah ditolak sekolah yang dianggap favorit karena persoalan zonasi," imbuh Isa.(TN)