TRUSTNEWS.ID,. - Awan hitam seakan enggan beranjak dari dunia pertekstilan dan produk tekstil Indonesia. Baru saja melandai dari pandemi Covid-19. Masyarakat dunia dikejutkan dengan berlarut-larutnya perang Rusia - Ukraina, tentu memberi dampak pada kondisi ekonomi global, terutama terkait dengan ancaman inflasi yang mengurangi daya beli negara-negara Eropa dan AS.
Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan, industri tekstil dan produk tekstil Indonesia tidak bisa terlepas dari kondisi dunia yang sedang berjuang untuk kembali bangkit.
Dicontohkan Jemmy, bagaimana The Federal Reserve atau The Fed, menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points ke kisaran 5,25 persen - 5,5 persen pada Juli 2023.
Ini merupakan kenaikan bunga yang kesebelas kalinya sejak perang Rusia-Ukraina meletus pada awal 2022, sekaligus menjadi rekor suku bunga The Fed tertinggi dalam dua dekade terakhir.
The Fed pun menyiratkan adanya kemungkinan untuk menaikkan lagi suku bunga di masa mendatang. Pasalnya, pada Juni 2023 laju inflasi AS masih di level 3 persen, sedangkan The Fed menetapkan target inflasi di negerinya bisa turun ke 2 persen.
Ada kemungkinan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sampai di 5,7 dan perkiraan baru bisa turun di kuartal ketiga tahun depan," ujarnya.
Karena Amerika melambat maka negara-negara lain ikut melambat. China juga melambat karena ekspor mengalami kontraksi sebesar 5,2 persen dan impor sebesar 6,9 persen karena perdagangan dengan tujuan utama termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Asia Tenggara menurun tajam. Ekspor ke AS turun 16,7 persen, sementara impor turun 5,8 persen.
Kondisi tersebut, dalam pandangan Jemmy, tentunya memberikan dampak ikutan kepada negara-negara berkembang dan negara-negara yang menjadi mitra dagang utamanya, termasuk Indonesia.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), ditegaskan Jemmy, telah meminta agar menerapkan kebijakan trade barrier atau membatasi pergerakan arus perdagangan antar negara. Kebijakan ini bertujuan agar impor produk tekstil terutama dari China, bisa terkendali sehingga produksi dalam negeri bisa diserap oleh pasar domestik.
Baginya, kebijakan trade barrier sesuatu yang wajar dan banyak negara menerapkannya dengan tujuan melindungi pasar domestik ditengah maraknya produk impor.
Diapun, membuka data pada periode Januari-Februari 2023, ekspor produk tekstil mengalami penurunan sebesar 26,82% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya mencapai 1,5 juta ton, atau turun 17 persen dibandingkan pada 2021. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada awal pandemi Covid-19. Pada level global memang terjadi penurunan permintaan terhadap produk tekstil, namun terjadi kenaikan nilai ekspor. Hal ini ditunjukkan dari nilai ekspor tekstil pada 2022 yang hanya turun 6,5 persen menjadi US$ 4,3 miliar.
Kondisi ini tentu menyebabkan industri tekstil harus pintar-pintar mensiasati keadaan agar bisa tetap bertahan. Salah satu langkah yang diambil yakni pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Saya pikir kalau tidak ada tindakan apa-apa dari negara, kondisi industri TPT nasional akan lebih parah. Pengetatan trade barrier menjadi salah satu instrumen pemerintah untuk menyelamatkan industri tekstil tahun depan,” pungkasnya