Suatu peraturan kebijakan senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrije Bevoegdheid) dari pemerintah dengan istilah Freies Ermessen. Freies Ermessen memiliki makna bahwa orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu.
Istilah tersebut sering digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies Ermeseen (diskresionare power) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau bidang-bidang administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam melakukan penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi negara.
Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessen dalam suatu Negara hukum yaitu: a) Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik; b) Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi Negara; c) Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum d) Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri; e) Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan penting yang timbul secara tiba-tiba. f) Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa maupun secara hukum.
Tujuan untuk mensejahterakan masyarakat melalui Freies Ermessen yang melekat pada sebuah jabatan, dan akhirnya jabatan tersebut akan diemban oleh seorang pejabat, maka dalam pelaksanaannya tetap harus mendasarkan pada adanya pertanggungjawaban atas Freies Ermessen tersebut.
Untuk itu, maka khusus tentang masalah freies ermessen, di mana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebut dengan istilah “diskresi” telah mengatur hal tersebut yaitu dalam BAB IV. Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang dengan tujuan untuk:
a) Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan.
b) Mengisi kekosongan hukum.
c) Memberikan kepastian hukum.
d) Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum
Selanjutnya, Pasal 23 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa ruang lingkup diskresi adalah:
a. Pengambilan Keputusan dan/ atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/ atau Tindakan.
b. Pengambilan Keputusan dan/ atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur.
c. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
d. Pengambilan Keputusan dan/ atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas
Dengan demikian jelas bahwa sekali Freies Ermessen atau diskresi diperbolehkan, namun hal tersebut adalah dalam kondisi yang telah ditentukan. Sebagai contoh, misalnya jika dalam suatu wilayah terjadi adanya bencana alam, wabah penyakit, maupun konflik sosial maka sangat dimungkinkan untuk dipergunakan freies ermessen.
Hal lain yang wajib diperhatikan dalam pendayagunaan Freies Ermessen bagi para pejabat, adalah pemahaman berkait dengan akibat hukum. Sebab, sangalah mungkin Freies Ermessen itu termasuk dalam tindakan melampaui wewenang atau mencampuradukkan wewenang yang dapat berakibat bahwa Freies Ermessen tersebut menjadi tidak sah atau dapat dibatalkan.
Freies Ermessen (diskresi) merupakan asas yang diberikan kepada pelaksana Negara untuk mengambil tindakan sesuai dengan pendapat sendiri dalam keadaan mendesak demi kemaslahatan bersama. Freies Ermessen oleh pejabat pemerintahan dalam rangka usaha untuk memujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan negara tercapainya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawalan baik dari unsur-unsur yang membatasi Freies Ermessen itu sendiri, maupun penerapan AUPB sebagai pendamping.
Di samping itu, keberadan lembaga kontrol juga sangat dibutuhkan supaya tidak terjadi tindakan penyalahgunan wewenang maupun tidakan yang sewenang– wenang, yang mana hal tersebut merupakan awal dari terjadinya maladministrasi.
Penulis : Putra Farhan Ramadhan