TRUSTNEWS.ID,. - Bisa jadi ini sebuah paradoks. Terkenal dengan negeri agraris. Namun, keadaan yang saat ini terjadi adalah, biaya beras nasional justru lebih mahal dibandingkan negara lain. Padahal Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan tingkat produsen dan konsumen beras terbesar setelah Cina.
Disebut-sebut, penyebab mahalnya harga beras disebabkan biaya produksi pertanian di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain. Hal tersebut membuat pertanian di Indonesia tidak efisien. Ketidakefisienan ini dikarenakan sewa tanah dan biaya buruh menjadi faktor tertinggi dalam biaya produksi pertanian di Indonesia.
Ali Jamil, Direktur Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, tak menampik tingginya harga beras di pasaran. Guna mengantisipasi hal itu kembali tertulang, Ditjen PSP telah mengambil sejumlah langkah dalam upaya mendongkrak produksi padi pada musim panen mendatang.
Beberapa langkah yang ditempuh Ditjen PSP, pertama berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait infrastruktur irigasi pertanian. Ini untuk memastikan ketersediaan air di tingkat usaha tani. Caranya dengan mengembangkan sumber air alternatif atau rehabilitasi jaringan irigasi.
Salah satu caranya, sebut Ali, dengan menampung atau meningkatkan muka air dan mengoptimalkan pemanfaatan air dengan sumber air yang berasal dari mata air, curah hujan atau run off, sungai atau sumber air lainnya.
"Di PSP ada Direktorat Irigasi Pertanian, terutama adalah penyediaan air dalam konteks kerakyatan artinya irigasi yang tidak masuk dalam wilayah kerja PUPR dikerjakan oleh kota di PSP. Misalnya keberadaan parit alamiah atau sungai kecil yang di bendung (dam parit/channel reservoir) untuk kemudian disalurkan sebagai air irigasi," ujarnya Ali Jamil kepada TrustNews.
Upaya peningkatan produksi beras, menurutnya, berada di bawah koordinasi Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Ditjen PSP sebab peningkatan produksi harus disertai dengan ketersediaan lahan pertanian dan meminimalisir alih fungsi lahan.
"PSP punya Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan, kita terus mendorong agar pemerintah daerah untuk membuatkan Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Saat ini total lahan baku sawah (LBS) Indonesia sebesar 7.463.948 hektare," ujarnya.
Selain LBS yang sudah ditetapkan pemerintah, lanjutnya, PSP melalui Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan terus melakukan optimalisasi lahan-lahan yang masih memiliki indeks pertanaman (IP).
"Misalnya lahan dengan IP 100 ditingkatkan menjadi IP 200, lahan yang memiliki IP 200 ditingkatkan menjadi IP 300 demikian juga masih memungkinkan dilakukan pada lahan yang memiliki IP 300 menjadi IP 400," ujarnya.
Seperti diketahui bahwa indeks pertanaman adalah rerata masa tanam dan masa panen dalam satu tahun pada lahan yang sama. IP 100 menunjukkan lahan pertanian hanya dilakukan sekali dalam setahun. Adapun IP 200 berarti 2 kali penanaman dalam satu tahun, begitu juga IP 300 dan IP 400.
"Bagaimana lahan IP 100, lahan kering atau lahan rawa kota optimalisasi sebagai bagian perluasan areal persawahan. Atau, kolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memanfaatkan lahan Perhutanan di wilayah Perhutanan Sosial karena ada 800 ribu hektar yang bisa kita manfaatkan," ujar Ali yang punya pengalaman memanfaatkan lahan kosong di tahun 2017-2018 di Jawa Tengah yang hasilnya cukup bagus.
Terkait pengoptimalan rawa-rawa, menurutnya, berdasarkan data Ditjen PSP, di Indonesia terdapat lahan rawa tadah hujan sekitar 1,068 juta hektar dari 1,5 juta hektar potensinya yang dapat ditingkatkan Indeks Pertanaman dan produktivitasnya. Selain itu terdapat lahan rawa lainnya yang potensial seluas 10 juta hektar yang belum dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk produksi pangan terutama padi dan jagung.
"Kegiatan yang dapat dilakukan di lahan rawa dan lahan tadah hujan adalah pengembangan infrastruktur air dan lahan, mekanisasi pertanian pra tanam dan pasca panen, penyediaan sarana produksi (benih, amelioran, pupuk dan pestisida) introduksi teknologi adaptif, serta peningkatan kemampuan petani dan kelembagaan petani," ungkapnya.
Pemanfaatan tanah rawa ini, bagi Ali untuk menjawab tekad Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menggagas program pengalihfungsian tanah rawa menjadi lahan sawah. Dia menargetkan bisa mencetak sawah seluas 1 juta hektare (ha) tahun 2024.
"Kita ada lahan rawa kita akan bangun, mungkin mudah-mudahan tahun depan bisa kita bangun 1 juta hektare. Target kita. Saat ini sudah turun tim bekerja di lapangan," ujar Amran dalam sebuah kesempatan. Target itu berdasarkan roadmap Kementan menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia di tahun 2028. Ditargetkan tahun 2024 lahan sawah dari rawa itu bisa produksi 2,5 juta ton beras dan bisa mengurangi impor.
Kemudian tahun 2025 ada 2 juta hektare dengan produksi 5 juta ton beras. Lalu tahun 2026 ada 3 juta hektare dengan produksi 7,5 juta ton beras. Selanjutnya tahun 2027 ada 4 juta hektare dengan produksi 10 juta ton beras.
Pada 2028 Kementan menargetkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia dengan lahan sawah dari tanah rawa mencapai 5 juta hektare, dengan produksi 12,5 juta ton beras.
Ditjen PSP, menurutnya, juga memiliki Direktorat Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) yang tugasnya mengkaji dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan Alsintan dari seluruh jenis yang ada. Hanya saja, kebutuhan alat-alat pertanian yang di hulu seperti traktor rotari, traktor kultivator, transplanter, pompa air, excavator atau backhoe.
"Kita juga punya Direktorat Pembiayaan yang tugasnya membantu memfasilitasi petani dalam mengakses perbankan dalam memanfaatkan dana kredit usaha, baik itu KUR, KUR Alsintan dan asuransi," ungkapnya.
Khusus Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), Ali Jamil menyarankan agar petani mengikuti program AUTP untuk mengantisipasi timbulnya kerugian akibat imbas perubahan iklim yang terjadi di Indonesia.
Menurutnya, program asuransi pertanian merupakan upaya perlindungan bagi petani ketika menghadapi gagal panen. Asuransi pertanian memberikan perlindungan berupa pertanggungan, agar petani tetap memiliki modal untuk memulai kembali usaha pertaniannya.
“Asuransi pertanian merupakan program perlindungan bagi petani agar tenang dalam mengembangkan usaha pertanian mereka. Dengan mengikuti asuransi, petani tak perlu khawatir ketika mengalami gagal panen, karena mendapat pertanggungan,” tuturnya.
Baginya, petani akan mendapat pertanggungan sebesar Rp6 juta/hektare/ musim. “Jadi, petani tidak merugi. Mereka juga memiliki modal untuk memulai kembali budidaya pertanian mereka,” papar Ali.
Ali melanjutkan, program yang juga dirancang untuk menjaga tingkat produktivitas pertanian. Program AUTP ini menjaga petani agar tetap produktif meski mengalami gagal panen.
“Ketika terjadi gagal panen, petani tak kehilangan daya produktivitasnya. Mereka tetap dapat berproduksi sehingga kesejahteraan mereka juga terjaga,” katanya.
Cara mendaftar AUTP cukup mudah. Syarat utamanya adalah petani harus bergabung terlebih dulu dengan kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan).
“Poktan atau gapoktan ini umumnya baru bisa dinyatakan resmi dibentuk jika telah mendapatkan surat keputusan dari dinas pertanian masing-masing daerah," jelasnya.
Setelah bergabung dalam sebuah poktan atau gapoktan dan memahami manfaat jaminan kerugian yang didapat dari program AUTP, petani bisa segera mendaftar sebagai peserta AUTP.
Adapun Premi program AUTP ini sebesar Rp 180.000 per musim. Dari jumlah ini bantuan pemerintah pusat sebesar 80 persen dari total premi atau senilai Rp144.000 dan premi swadaya yang harus dibayar oleh petani 20 persen atau senilai Rp36.000.
Kalau dihitung-hitung, uang Rp36 ribu premi yang harus dibayar oleh para petani sesungguhnya tidak cukup besar kalau dibandingkan dengan uang belanja para petani kita," pungkasnya.