TRUSTNEWS.ID,. - Transisi energi menuju energi bersih yang ramah lingkungan merupakan respon bangsa Indonesia terhadap masyarakat global. Transisi energi juga bukan semata-mata hanya permasalahan lingkungan saja, namun lebih jauh lagi untuk menjaga daya saing produk dalam negeri dengan negara lain.
Hal tersebut disampaikan Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat diminta pendapatnya terkait upaya pemerkntah (baca Kementerian ESDM terkait transisi energi fosil ke energi bersih.
"Pemerintah sudah berkomitmen untuk mewujudkan transisi energi dari berbahan fosil ke energi hijau yang lebih bersih. Ini dilakukan dalam upaya menjaga Indonesia tetap kompetitif yang tentunya sejalan dengan ekonomi berkelanjutan," ujar Dadan Kusdiana kepada TrustNews.
"Salah satu prinsip dasar kita ingin tetap menjaga pertumbuhan, karena biasanya jika kita melakukan transisi energi membuat biayanya lebih besar. Akan tetapi Presiden Joko Widodo sudah menetapkan indonesia net zero emission di tahun 2026 atau lebih cepat," paparnya.
Untuk mewujudkan NZE di 2026, lanjutnya Kementerian ESDM mengambil beberapa langkah. Pertama, mendorong penggunaan energi bersih. Untuk on-grid diperbanyak dari PLT EBT seperti PLTS Atap, PLTS terapung, PLTB, Program Dedieselisasi menjadi PLT EBT; Mandatori B35 dan CoFiring biomassa pada PLTU.
"Sedangkan off-grid menggunakan PLT EBT dan mini-grid yakni jaringan listrik independen dan terdesentralisasi yang dapat berfungsi secara terpisah dari jaringan nasional," ujarnya.
Kedua, pemanfaatan atau penggunaan listrik untuk kendaraan, maupun alat rumah tangga dan pertanian (electrifying agriculture). Ketiga, mendorong efisiensi energi dengan energi yang lebih sedikit.
Keempat, kombinasi ekonomi dan teknologi. Mengurangi porsi penggunaan batu bara dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) melalui teknologi co-firing. Bagi Dadan, Indonesia dari Aceh hingga Papua, sambungnya, memiliki potensi sumber EBT yang sangat melimpah dan belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Hal itulah yang bisa dijadikan peluang dalam transisi energi untuk dioptimalkan sebagai pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan rendah emisi, salah satunya adalah potensi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Papua.
"Sebaliknya bagi negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Singapura transisi energi bersih merupakan tantangan yang sangat besar. Untuk memenuhinya, ketiga negara tersebut harus membelinya dari negara lain. Ekspor listrik EBT bisa dijadikan peluang bagi Indonesia untuk mengekspor listrik ke Singapura," paparnya.
Meski demikian, Dadan menyebutkan, perlu dorongan untuk menarik investasi seperti industri-industri yang ditunjang dari sumber-sumber energi bersih di wilayah Indonesia yang merata.
"Sehingga kalau kita dorong transisi energi ini pembangunannya ada di manamana, jadi dengan kacamata nasional yang lebih besar kita melihat justru Ini adalah opportunities transisi energi, ini adalah opportunities kita, Indonesia," urainya.
Hanya saja diingatkannya, ada hal sensitif yang sering dijadikan isu terkait keberadaan tenaga kerja asing di dalam proses transisi energi fosil ke energi bersih. Penggunaan TKA hanya pada sektor dimana ketiadaan SDM dalam menanganinya dan bersifat transfer ilmu.
"ESDM tidak hanya fokus dalam penurunan emisi saja. ESDM juga terlibat dalam pembangunannya dan survei nya. Kedua ini tentu membutuhkan tenaga kerja untuk menyelesaikannya. Bahkan untuk satu proyek bisa menyerap 1.400 orang," ujarnya.
"Transisi energi bersih itu membutuhkan biaya dan pemerintah membuka peluang bagi investor untuk berinvestasi dalam oengembangan EBT. Artinya kita tidak anti investasi asing dan anti TKA, kalau memang kita tidak punya SDM untuk suatu persoalan. Tentunya jika kami menggunakan tenaga asing juga kami melakukan transfer knowledge," pungkasnya.