TRUSTNEWS.ID,. — Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada Februari 2024 mencapai 55,41 persen, angka ini masih jauh di bawah TPAK laki-laki yang mencapai 84,02 persen. Ketimpangan ini menyoroti masalah mendasar yang masih dihadapi perempuan di pasar tenaga kerja.
Partisipasi perempuan dalam angkatan kerja memang telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi peningkatan ini belum cukup untuk menutup kesenjangan yang ada. Masih banyak perempuan yang menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses peluang kerja yang setara dengan laki-laki, baik dalam hal kesempatan kerja, upah, maupun akses ke posisi-posisi strategis. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa kesetaraan gender bukan hanya masalah keadilan sosial, tetapi juga berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
Peningkatan TPAK perempuan yang tercatat dalam beberapa tahun terakhir merupakan salah satu capaian positif dalam upaya mencapai kesetaraan gender di tempat kerja. Pada Februari 2024, TPAK perempuan berada di angka 55,41 persen, yang meningkat dari 54,42 persen pada tahun 2023 dan 54,27 persen pada tahun 2022. Tren ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dan upaya perempuan untuk lebih berperan aktif dalam dunia kerja.
Namun, peningkatan ini tidak boleh membuat kita lengah. Meskipun ada kemajuan, perbedaan yang signifikan antara TPAK perempuan dan laki-laki masih menjadi tantangan besar. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Lestari Moerdijat, dengan tegas menyatakan ketimpangan partisipasi di dunia kerja antara laki-laki dan perempuan masih cukup lebar. Upaya meningkatkan kompetensi perempuan untuk memasuki dunia kerja harus konsisten dilakukan.
Lestari Moerdijat menambahkan bahwa ketimpangan ini bukan hanya soal partisipasi, tetapi juga soal kualitas keterlibatan perempuan di tempat kerja. Perempuan sering kali terkonsentrasi dalam sektor-sektor dengan upah rendah dan pekerjaan yang kurang stabil, yang mencerminkan adanya bias gender dalam pasar tenaga kerja.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah mengimplementasikan berbagai kebijakan dan inisiatif yang bertujuan untuk memberdayakan serta melindungi tenaga kerja perempuan. Salah satu kebijakan utama yang telah diambil adalah Gerakan Nasional Non-Diskriminasi di Tempat Kerja. Gerakan ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih setara, tetapi juga memastikan bahwa hak-hak perempuan terlindungi dengan baik. Kebijakan ini mencakup pembuatan sistem perlindungan berbasis teknologi informasi, penyusunan pedoman pencegahan pelecehan seksual, serta panduan kesetaraan gender di tempat kerja.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menegaskan komitmen pemerintah dalam mendorong kesetaraan gender di tempat kerja. “Kami mendorong komitmen dari perusahaan-perusahaan untuk mencantumkan kesepakatan nondiskriminasi bagi pekerja ke dalam Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang melibatkan pekerja dan pengusaha,” ujar Ida. Ini bukan sekadar kebijakan di atas kertas, tetapi langkah nyata untuk memastikan bahwa perempuan mendapatkan hak yang sama dalam berbagai aspek pekerjaan, termasuk upah, promosi, dan kondisi kerja.
Selain itu, Kemnaker juga telah meluncurkan program pengembangan perluasan kesempatan kerja, termasuk program padat karya dan kewirausahaan, yang secara khusus diarahkan kepada perempuan, terutama mereka yang terdampak oleh pandemi COVID-19. Program-program ini dirancang untuk memberdayakan perempuan agar bisa kembali bangkit dan membantu memulihkan perekonomian keluarga serta komunitas di daerah-daerah yang terdampak. “Banyak dari paket bantuan tersebut diberikan kepada kelompok perempuan sehingga mereka kembali terberdayakan dan membantu membangkitkan perekonomian keluarga dan masyarakat di daerah masing-masing,” jelas Ida.
Kemnaker juga menekankan pentingnya peningkatan kompetensi dan kualitas pekerja perempuan melalui pelatihan-pelatihan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Program pelatihan ini mencakup bidang-bidang yang diminati oleh perempuan, seperti kecantikan dan fashion, yang tidak hanya menyediakan keterampilan teknis tetapi juga membuka peluang untuk berwirausaha. “Kami juga membuka jurusan-jurusan yang banyak diminati oleh perempuan seperti kecantikan dan fashion,” tambah Ida.
Meskipun kebijakan dan program yang telah diterapkan menunjukkan hasil positif, kesenjangan gender di tempat kerja masih menjadi tantangan yang memerlukan perhatian lebih. Salah satu tantangan utama adalah stigma budaya yang masih mengakar dalam masyarakat Indonesia. Banyak perempuan yang masih terjebak dalam stereotip gender yang membatasi pilihan pekerjaan mereka. Sektor-sektor yang dianggap “cocok” untuk perempuan sering kali adalah yang menawarkan upah rendah dan minim kesempatan untuk berkembang.
“Faktor budaya masyarakat kita masih menempatkan perempuan itu pada sektor-sektor yang cenderung membutuhkan kelembutan dan kehalusan,” ungkap Ida. Pernyataan ini mencerminkan bagaimana budaya masih menjadi hambatan besar dalam mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya. Namun, dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, diharapkan stigma ini akan semakin berkurang.
Selain itu, diskriminasi gender di tempat kerja juga sering kali terwujud dalam bentuk perbedaan upah. Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional yang mendukung kesetaraan upah, kenyataannya, masih banyak perempuan yang menerima upah lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Hal ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu, tetapi juga menurunkan produktivitas dan efisiensi ekonomi secara keseluruhan.
Perlindungan Utuh Pekerja Perempuan
Indonesia telah memiliki berbagai payung hukum yang kuat untuk melindungi pekerja perempuan. Ada tiga kebijakan protektif utama yang dirancang untuk melindungi hak-hak perempuan di tempat kerja:
1. Kebijakan Protektif: Kebijakan ini meliputi hak cuti melahirkan selama satu setengah bulan sebelum dan sesudah melahirkan, cuti keguguran, kesempatan menyusui, serta larangan mempekerjakan perempuan hamil pada shift malam yang berisiko.
2. Kebijakan Korektif: Kebijakan ini melarang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap perempuan dengan alasan menikah, hamil, atau melahirkan. Selain itu, kebijakan ini juga mengatur kewajiban perusahaan untuk melindungi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari serta mereka yang bekerja di luar negeri.
3. Kebijakan Non-Diskriminasi: Kebijakan ini melarang segala bentuk diskriminasi berdasarkan gender di tempat kerja, mulai dari rekrutmen hingga promosi, serta memastikan adanya jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi pekerja perempuan.
Ida Fauziyah menegaskan bahwa dari sisi norma peraturan perundang-undangan, Indonesia sudah memiliki payung hukum yang memadai untuk memberikan perlindungan kepada perempuan, terutama di sektor ketenagakerjaan. “Kami telah menghapus segala bentuk diskriminasi, termasuk dari sisi pengupahan,” tegas Ida. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan setara.
Namun, meskipun regulasi sudah ada, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan. Pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut benar- benar dilaksanakan. Kemnaker terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkuat pengawasan ketenagakerjaan dan memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap hak-hak pekerja perempuan dapat ditindaklanjuti dengan cepat dan efektif.
Kesetaraan gender di dunia kerja bukan hanya sebuah tujuan mulia, tetapi juga sebuah keharusan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berdaya saing tinggi. Langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia, mulai dari kebijakan perlindungan hingga program pemberdayaan, menunjukkan komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan ini. Namun, tantangan yang ada, seperti stigma budaya dan diskriminasi upah, masih memerlukan perhatian khusus dan upaya yang lebih intensif.
Untuk mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya, dibutuhkan kerja sama dari semua pihak—pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Setiap kebijakan dan program yang telah diluncurkan harus diimplementasikan dengan baik dan diawasi secara ketat. Selain itu, perubahan budaya dan peningkatan kesadaran masyarakat juga harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang masih ada.
“Dengan komitmen yang kuat, saya yakin kita bisa menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan adil bagi semua,” tutup Ida Fauziyah. Pernyataan ini bukan hanya sebuah harapan, tetapi juga sebuah ajakan bagi semua pihak untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik, di mana setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi dalam membangun bangsa.