TRUSTNEWS.ID,. - Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan keseriusan yang semakin meningkat dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah telah merancang berbagai strategi untuk menurunkan emisi karbon, mulai dari sektor pembangkit listrik hingga transportasi dan maritim.
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE), mengatakan salah satu upaya yang sedang berjalan adalah penggunaan biomassa sebagai bahan bakar pengganti di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Dengan target ambisius 2,2 juta ton biomassa per tahun, pemerintah berharap langkah ini dapat membantu mengurangi emisi yang dihasilkan dari penggunaan batu bara," ujar Eniya Listiani Dewi kepada TrustNews.
"Namun, pencapaian saat ini masih jauh dari target, hanya sekitar 800 hingga 900 ribu ton hingga akhir tahun. Walaupun demikian, upaya ini menjadi bagian dari rencana besar yang akan terus diperkuat di masa depan," paparnya.
Eniya melanjutkan, transportasi juga menjadi fokus utama dalam transisi menuju energi bersih. Mulai Januari mendatang, penggunaan bio diesel B40 akan diwajibkan, sebuah langkah maju dari program bio diesel sebelumnya.
"Pemerintah juga telah melakukan soft launching untuk B50, dan bahkan ada diskusi mengenai kemungkinan penerapan B60 di masa depan. Selain itu, bio ethanol juga mulai diintegrasikan dalam bauran energi transportasi, dengan target implementasi awal sebesar 5 persen," ujarnya.
Di sektor penerbangan, lanjutnya, pemerintah menargetkan penggunaan bio avtur sebanyak 1 persen pada tahun 2027. Ini adalah langkah awal dalam upaya menciptakan industri penerbangan yang lebih ramah lingkungan.
"Sektor maritim pun tidak ketinggalan; pemerintah merencanakan penggunaan ammonia sebagai bahan bakar, yang dapat menghasilkan emisi nol karbon," ungkapnya.
Amonia, menurutnya, sebagai bahan bakar bebas karbon, menawarkan potensi besar untuk merevolusi sektor maritim. Tidak seperti bahan bakar fosil tradisional yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar, amonia bisa menjadi solusi untuk mencapai nol emisi.
"Ini bukan sekadar langkah menuju pengurangan emisi karbon, melainkan sebuah loncatan menuju masa depan tanpa karbon (free carbon)," ungkapnya.
Di sektor gas alam, diuraikannya, adanya penemuan cadangan gas yang siginifikan di Kalimantan dan Sulawesi serta potensi gas di Andaman dan Papua haruslah dimanfaatkan untuk menggantikan peran batu bara sebagai sumber energi utama.
"Di Pulau Buru Papua juga ada potensi gas yang bisa dimanfaatkan untuk menggantikan batu bara," ujarnya.
"Saat ini kita mengirim dari Tangguh ke Sumatera. Ini melintas Indonesia, ini harus diminimalkan agar gasnya di kirim ke Sulawesi, lebih dekat kesana, untuk menggantikan batu bara yang ada di minning sektor yang ada di Sulawesi," paparnya.
Adapun Sumatera Barat, lanjutnya, memiliki potensi alam yang melimpah, telah lama dianggap sebagai lokasi strategis untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air (hydro power). Sumber daya air yang melimpah serta topografi yang mendukung, menjadikan wilayah ini ideal untuk dikembangkan menjadi pusat energi terbarukan yang ramah lingkungan.
"Perhatian saya dalam beberapa bulan ini ke Sumatera Barat, karena di situ ada potensi hydro yang banyak sekali dan selama ini terpending. Selalu di bilang nggak di demand jadi nggak di bangun. Ini salah," ujarnya. "Saya juga ke Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sudah 12 tahun pembangunan PLTA. Kalau nggak di mulai dari sekarang terus kapan," ujarnya.
Baginya, program transisi energi kian menantang dikarenakan waktu yang tersedia semakin terbayas dari target puncak emisi pada 2030.
"Kalau sekarang kita investasi geotermal dan hydro di percepat. Bangun geotermal butuh 7 tahun. Sedangkan hydropower pembangunannya butuh 12 tahun. Ini yang harus ditanamkan sekarang biar 2030 tinggal panen," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menawarkan investasi dalam bidang energi baru terbarukan (EBT) dalam forum internasional bertajuk Clean Energy Ministerial (CEM) yang digelar di Badung, Bali.
Dalam forum tersebut, Indonesia telah membuat kebijakan untuk menciptakan ekosistem yang baik dalam investasi energi bersih. Ini dibuktikan dengan keluarnya aturan Kementerian ESDM berupa relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada proyek ketenagalistrikan. Aturan tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2024.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan rendahnya investasi di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT) selama ini disebabkan salah satunya oleh aturan TKDN. Eniya, mengatakan pemerintah telah membebaskan persyaratan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk proyek-proyek EBT yang didanai melalui pinjaman atau hibah luar negeri.
Menurutnya hal tersebut merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan EBT di Indonesia. Kebijakan ini menjadi upaya pemerintah untuk mempercepat transisi energi menuju energi bersih. Pasalnya, untuk menuju transisi energi membutuhkan dana dengan jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, upaya transisi energi di Indonesia memerlukan dukungan dari investor untuk menanamkan modalnya dalam mengoptimalkan energi bersih di Indonesia.
"Mewujudkan peta jalan transisi energi di Indonesia, membutuhkan investasi yang sangat besar. Meskipun kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) terus meningkat, tapi masih membutuhkan biaya besar untuk mempercepat dalam memenuhi target pembangunan nasional,” ungkapnya.
Eniya mengatakan, Indonesia memiliki modal sumber daya EBT yang sangat besar. Sumber daya EBT tersebut tersebar dengan potensi mencapai 3680 GW yang bisa dioptimalkan untuk memasok kebutuhan energi nasional di masa depan.
Diketahui pula, banyak investasi asing sebesar Rp 49 triliun untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terhambat masuk ke Indonesia karena adanya aturan TKDN. Melihat fakta ini, Kementerian ESDM mendorong relaksasi TKDN untuk investasi hijau di Indonesia.
Eniya mengatakan, proyek PLTS dan EBT lainnya tertunda karena persyaratan TKDN. Eniya menjelaskan bahwa aturan TKDN dari Kementerian Perindustrian mengharuskan komponen dalam negeri untuk PLTS mencapai 60 persen.
Namun, banyak komponen PLTS yang masih harus diimpor. Investor asing juga sering mensyaratkan penggunaan komponen yang mereka bawa untuk berinvestasi di Indonesia.
Selain itu, dia mengatakan, Indonesia juga sudah membuat peta jalan transisi energi yang menetapkan bahwa pembangunan pembangkit listrik setelah 2030 hanya akan berasal dari sumber EBT. Kapasitas terpasang pembangkit EBT akan mencapai 350 GW pada 2060, dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) akan meningkat secara signifikan mulai 2030.
"Indonesia juga akan mengimplementasikan super grid yang terintegrasi untuk memberikan akses energi kepada seluruh masyarakat. Super grid akan mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan dan menjaga kestabilan sistem kelistrikan," ujarnya.
"harapannya adanya relaksasi TKDN dapat mengakselerasi percepatan investasi berbagai proyek EBT di Indonesia. Ia menjelaskan, pada dasarnya, peraturan ini tetap mengacu kepada keputusan dari Kementerian Perindustrian untuk berhitung mengenai TKDN," pungkasnya.