trustnews.id

Dokter Indonesia Berbagi Kompetensi Menyelamatkan Nyawa
Doc, Istimewa

TRUSTNEWS.IDDi sebuah rumah sakit kecil di pelosok Sulawesi, seorang dokter umum berdiri di ruang operasi, tangannya gemetar namun penuh tekad. Hari ini, ia akan melakukan sectio caesarea—operasi caesar—untuk menyelamatkan seorang ibu dan bayinya. Ia bukan spesialis kandungan, tapi di tempat ini, ia adalah harapan terakhir.

Di negara kepulauan seluas Indonesia, dengan 514 kabupaten dan kota yang membentang dari Sabang hingga Merauke, keajaiban seperti ini bukan lagi pengecualian—melainkan bagian dari revolusi baru: sharing competencies.

Ini adalah strategi berani yang lahir dari kepepet. Di rumah sakit-rumah sakit megah Jakarta, kemoterapi biasanya hanya disentuh oleh tangan-tangan langka para subspesialis hemato-onkologi—dokter yang jumlahnya bisa dihitung jari di seluruh negeri.

Namun, jauh di daerah, di mana pasien kanker menunggu dengan napas tertahan, pemerintah kini melatih dokter internis untuk mengambil alih tugas itu. Bukan lagi soal gelar, tapi soal nyawa.

“Kita tidak punya waktu untuk menunggu,” tegas Azhar Jaya, Dirjen Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan, dalam wawancara dengan TrustNews.

Dia seakan ingin berkata, "Indonesia kekurangan dokter, dan daerah terpencil adalah yang paling menderita."

Di balik krisis ini, ada cerita yang lebih dalam—cerita tentang sistem pendidikan kedokteran yang berjuang mengejar waktu. Fakultas kedokteran di Indonesia, meski sudah bertambah jumlahnya, masih seperti kapal kecil di tengah lautan kebutuhan yang ganas. Kuota mahasiswa terbatas, dan proses mencetak dokter spesialis—apalagi subspesialis—bisa memakan dekade.

“Membeli alat canggih itu mudah,” ujarnya.

 “Tapi mencetak manusia yang bisa mengoperasikannya? Itu butuh waktu yang tidak kita miliki," tambahnya.

Proyeksi ke depan tidak membawa kabar baik. Dalam 10 hingga 15 tahun, Indonesia masih akan bergulat dengan kekurangan dokter, terutama di desa-desa terpencil yang jarang disentuh stetoskop. Pemerintah telah mendorong kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan untuk memperluas kapasitas fakultas kedokteran, tapi Azhar menggelengkan kepala. “Kapasitas saat ini tidak akan cukup,” ujarnya. “Kita butuh terobosan.”

Dan terobosan itu datang dalam bentuk yang tak biasa. Lupakan pendidikan tradisional yang menghabiskan bertahun-tahun—pemerintah kini memasang taruhan pada program fellowship.

Ambil contoh cath lab, ruang operasi jantung canggih yang biasanya hanya bisa disentuh dokter spesialis intervensi setelah pendidikan panjang. Kini, pelatihan khusus selama enam bulan hingga setahun sudah cukup untuk melatih dokter memasang stent atau katup jantung.

“Kebutuhan masyarakat terlalu mendesak. Pasien tidak peduli gelar, mereka ingin hidup," tegasnya.

Lalu ada sharing competencies, langkah yang lebih kontroversial lagi. Di daerah tanpa spesialis, dokter umum dan internis didorong melangkah lebih jauh. Seorang dokter umum kini bisa dilatih untuk melakukan operasi caesar. Seorang internis di kabupaten terpencil bisa memberikan kemoterapi untuk kanker payudara atau serviks—tugas yang sebelumnya hanya boleh dilakukan oleh dokter hemato-onkologi.

“Kalau kita bersikeras menunggu subspesialis, lalu bagaimana?” tanya Azhar.

Sementara itu, di desa-desa terpencil dan kota-kota kecil, pasien menatap dokter mereka dengan harapan. Di tangan mereka—terlatih cepat atau tidak—ada detak jantung yang masih ingin berdetak. Di negeri yang luas ini, sharing competencies bukan sekadar kebijakan. Ini adalah janji—janji bahwa setiap nyawa, di manapun berada, layak diperjuangkan.

 “Kita punya 514 kabupaten dan kota. Pasien di mana-mana," pungkasnya. (TN)