
TRUSTNEWS.ID - Bali, tanah yang dibentuk dari lava purba dan dijaga oleh nyanyian mantra ribuan pura, sains
dan spiritualitas bukan dua kutub yang saling meniadakan. Di pulau ini, pengetahuan tidak hanya berasal dari laboratorium, tetapi juga dari bale banjar, dari sawah yang mengikuti ritme wariga, dan dari nyanyian petani yang merawat tanah seperti merawat doa.
Pulau yang dikenal dunia karena keelokan alam dan kekayaan ritualnya ini, menyimpan kedalaman lain: sebuah tradisi berpikir yang terstruktur dalam harmoni antara manusia, alam, dan semesta—konsep yang dalam filosofi lokal dikenal sebagai Tri Hita Karana.
Dalam lanskap inilah Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Provinsi Bali lahir. . Ia bukan sekadar perpanjangan tangan negara dalam urusan penelitian, melainkan representasi dari semangat Bali untuk membangun masa depan tanpa mencabut akar masa lalunya.
Sebagaimana halnya upacara piodalan yang tak pernah berdiri sendiri tanpa pertimbangan waktu dan tanda-tanda alam, begitulah keberadaan BRIDA. Ia menjadi jembatan antara riset dan ritus, antara algoritma dan alam, antara kebijakan yang terukur dan keyakinan yang mengakar. Ke dalam satu sistem nilai yang hidup dan terus tumbuh.
Mandat BRIDA bukan perkara kecil Dibentuk sebagai bagian dari dorongan reformasi nasional untuk melembagakan riset di tingkat daerah, badan ini bertujuan memperkuat kapasitas Bali dalam menyusun kebijakan berbasis bukti ilmiah, sekaligus menyinergikan berbagai entitas riset dan inovasi yang sebelumnya terfragmentasi.
Tujuan akhirnya, mempercepat daya saing ekonomi, meningkatkan layanan publik, dan memastikan kekayaan intelektual masyarakat—terutama yang bersifat komunal—dapat terlindungi dengan lebih baik.
“Riset bukan hanya milik laboratorium dan kampus, melainkan harus hadir sebagai instrumen perencanaan daerah yang konkret,” ujar I Wayan Wiasthana Ika Putra, Plt. Kepala Badan Riset dan inovasi Daerah (BRIDA) kepada TrustNews.
Strategi BRIDA, lanjutnya, berfokus pada optimalisasi. Bukan membangun dari nol, tetapi memperkuat yang sudah ada: kearifan lokal, pengetahuan komunitas, dan jejaring kelembagaan.
"Dengan menyelaraskan peta jalan risetnya pada prioritas daerah seperti ketahanan iklim, pertanian organik, dan energi bersih BRIDA berupaya menerjemahkan hasil riset menjadi dampak nyata," jelasnya.
Diapun mengambil contoh, pengembangan model standar budidaya padi organik dan teknologi pascapanen untuk menghidupkan kembali jeruk Keprok Tejakula, ikon pertanian Bali.
Wiasthana yang juga menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali, ini dengan tegas mengungkap bahwa kolaborasi menjadi pilar penting.
Hal ini sesuai regulasi nasional dan peraturan gubernur, BRIDA diberi kewenangan bermitra dengan perguruan tinggi, lembaga riset, dan komunitas lokal untuk mengembangkan inovasi dan melindungi hak kekayaan intelektual. Termasuk dukungan teknis untuk pengajuan paten, registrasi hak komunal, serta fasilitasi alih teknologi lintas sektor.
“Jika kita ingin masa depan Bali dibentuk oleh pilihan-pilihan cerdas, maka riset dan inovasi harus ditempatkan di jantung pengambilan keputusan,” tegas Wiasthana.
Program-program unggulan yang direncanakan untuk tahun 2025 memperlihatkan agenda yang ambisius. Selain fokus riset utama, BRIDA mendukung pembentukan BUMD di sektor energi, pangan, air, dan transportasi, serta proyek strategis seperti masterplan Nusa Penida dan Sensus Semesta Berencana berbasis desa adat.
"Upaya mendorong inovasi juga dilakukan melalui penghargaan Swacitta Nugraha dan Kompetisi Inovasi Pemerintah Provinsi Bali, yang bertujuan menumbuhkan kreativitas publik dan menonjolkan solusi dari akar rumput," urainya.
Namun diakuinya, ambisi harus diimbangi dengan kapasitas. BRIDA kini memperkuat infrastruktur internalnya— penyesuaian struktur organisasi, peningkatan kapasitas SDM, dan digitalisasi sistem menjadi agenda utama.
“Kelembagaan yang kuat adalah prasyarat mutlak bagi inovasi yang berkelanjutan. Kita sedang membangun bukan hanya struktur, tetapi juga budaya riset di birokrasi daerah,” pungkasnya.