
TRUSTNEWS.ID - Bayangkan saja dulu: di saat Anda tengah asyik belanja di pasar, mata Anda menangkap jejeran barang kayak kompor gas, rice cooker, magic com, blender, sampai kulkas—semuanya punya stiker “TKDN 72%”, “TKDN 80%”, atau… malah nggak ada stikernya sama sekali.
Stiker ini bentuknya mirip logo Halal dari BPJPH, tapi maknanya beda: ini soal kadar cinta tanah air, alias kandungan lokal. Yang nggak ada stiker? Bisa jadi itu barang selundupan alias impor ilegal.
Anda pasti merasa ada sedikit kebanggaan nasionalis menyelusup ke dada. Rasanya kayak beli produk lokal yang nggak cuma bisa masak nasi, tapi juga masak harapan buat ekonomi negara.
Imajinasi nyeleneh di atas itu muncul dari Direktur Utama PT Nurinda, Suwardi Setiawan. Dia membayangkan sistem sertifikasi TKDN ini bisa jalan sungguhan. Kayak label halal atau pita cukai, tapi versi “Made in Indonesia”.
“Dengan sertifikasi yang jelas dan transparan, konsumen bisa tahu mana produk yang beneran lokal, bukan cuma tempelan bendera merah putih,” ujar Suwardi Setiawan kepada TrustNews.
PT Nurinda sendiri adalah perusahaan manufaktur lokal yang bergerak di sektor kelistrikan dan peralatan rumah tangga. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu pelaku industri yang aktif menerapkan prinsip TKDN dalam produksinya. Mulai dari bahan baku, tenaga kerja, hingga proses perakitan, Nurinda berupaya semaksimal mungkin menggunakan sumber daya dalam negeri.
Masalahnya sekarang, produsen lokal yang sudah keluar modal untuk pabrik dan gaji karyawan justru keteteran hadapi serbuan barang impor ilegal yang murah tapi curang. Importir resmi pun megap-megap karena barang ilegal masuk tanpa pajak, tanpa standar. Padahal, menurut data Kemenperin, kerugian dari sektor elektronik dan tekstil saja bisa sampai triliunan tiap tahun.
“Kita percaya pengawasan pelabuhan sudah makin ketat. Tapi pelaku usaha yang patuh TKDN juga butuh insentif. Kalau produk halal aja dilindungi, masa produk lokal nggak?” ujarnya.
Kenyataannya, produsen lokal nggak cuma harus adu harga, tapi juga hadapi kelemahan rantai pasok. Banyak komponen penting seperti baja dan miniature circuit breaker (MCB) masih harus diimpor karena biaya produksi dalam negeri belum kompetitif. Tapi menurut Suwardi, kalau kandungan lokal ditingkatkan bertahap, dampaknya bakal berlipat: dari lapangan kerja baru, pertumbuhan UMKM, sampai geliat sektor logistik.
Bahkan, sektor kelistrikan Indonesia sudah menunjukkan kemajuan. TKDN-nya naik dari 30% pada 2015 menjadi hampir 50% pada 2024, kata laporan Kementerian ESDM.
Dari sisi global, menurut Suwardi, Indonesia bisa banyak belajar dari negara-negara besar yang sedang bereksperimen dengan strategi industrialisasi ulang. Contohnya Amerika Serikat, yang dalam beberapa tahun terakhir berusaha menarik kembali industri manufakturnya dari Tiongkok, termasuk lewat pembukaan pabrik Louis Vuitton di Texas pada 2019.
Namun, upaya itu tidak berjalan mulus. Biaya produksi yang tinggi dan minimnya tenaga kerja terampil menjadi kendala utama. Hal ini menunjukkan bahwa relokasi industri tidak sekadar soal mengganti lokasi pabrik, tapi juga kesiapan infrastruktur, ekosistem pendukung, dan sumber daya manusia.
Sementara itu, Tiongkok menjadi raksasa industri dunia bukan secara instan, tetapi melalui proses panjang selama lebih dari tiga dekade. Negeri Tirai Bambu itu konsisten menjalankan kebijakan proteksionis, mendorong penggunaan teknologi lokal, dan memberikan insentif besar-besaran bagi sektor manufaktur.
“Indonesia bisa ambil jalan tengah, yakni manfaatkan tenaga kerja muda, biaya produksi yang bersaing, dan fokus pada sektor strategis seperti kelistrikan dan tekstil,” ungkapnya.
Pasar luar negeri pun terbuka lebar. Di Timur Tengah, produk Indonesia mulai mendapat tempat. Pendekatan kolaboratif kita—berbeda dari gaya “seruduk” Tiongkok dan India—lebih disukai karena mengedepankan kemitraan jangka panjang. Pameran dagang di Arab Saudi dan kunjungan ke Oman pada 2024 membuktikan bahwa tekstil dan makanan olahan punya peluang besar, bahkan sekarang menyumbang 15% dari total ekspor nonmigas Indonesia ke kawasan itu.
“TKDN bukan sekadar alat proteksi, tetapi fondasi kedaulatan ekonomi. Dengan regulasi yang kuat, transparansi sertifikasi, dan dukungan nyata bagi industri lokal, Indonesia dapat membangun perekonomian yang tangguh,” pungkasnya.
(TN)