
TRUSTNEWS.ID - Di bawah tanah Jakarta, jauh dari pekik klakson dan napas berat kemacetan, ada dunia lain yang berdenyut teratur. Di situ, waktu mengalir dalam ketepatan Jepang, dan manusia—yang di atasnya terbiasa merunduk oleh panas dan polusi—berjalan tegak, tersenyum, dan tahu persis kapan kereta datang.
Ini bukan Jakarta yang dulu kita kenal. Ini adalah kota yang sedang melatih dirinya untuk jadi lebih baik, satu stasiun demi satu stasiun.
Ketika fase pertama MRT Jakarta diresmikan pada 2019, banyak yang melihatnya sebagai keajaiban logistik dan politik. Tak hanya karena moda bawah tanah ini menjadi yang pertama di Indonesia, tapi karena ia berhasil menyelinap ke dalam ruang-ruang urban yang selama ini macet oleh kepentingan dan kabel semrawut.
Enam tahun kemudian, MRT bukan sekadar sistem transportasi. Ia adalah simbol reformasi perkotaan: Jakarta yang lama tertawan kendaraan pribadi mulai membuka dirinya untuk berjalan kaki, bertransaksi digital, dan yang lebih radikal datang tepat waktu.
Tiga mandat utama membentuk tulang punggung MRT: membangun infrastruktur, mengoperasikan layanan secara berkelanjutan, dan mengembangkan kawasan berbasis Transit Oriented Development (TOD).
Dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI, 16 triliun rupiah investasi awal berkat pinjaman bilateral Jepang telah menjelma menjadi 15,7 kilometer rel yang mendisiplinkan dan memanusiakan mobilitas urban.
Saat ini, ekspansi ke arah utara (hingga Kota) telah berjalan 49% dan ditargetkan selesai penuh pada 2029. Jalur timur–barat, dari Bekasi ke Tomang, sepanjang 24,5 km jalur utama dan 5,9 km jalur depo, juga akan mulai beroperasi bertahap pada 2030 dan rampung 2032.
Tak semua dibangun dengan dana negara. Fase berikutnya akan menggandeng sektor swasta. Fase Fatmawati–Taman Mini, misalnya, direncanakan sepenuhnya dengan skema non-fiskal.
Tapi efek MRT melampaui beton dan besi. Dalam budaya urban Jakarta yang selama ini dikuasai logika kendaraan pribadi, MRT menawarkan etika baru: budaya antre, menghargai waktu, menjaga kebersihan, hingga penggunaan transaksi digital.
“Kami hanya menjual dua hal yakni kepastian waktu dan pelayanan,” ujar Tuhiyat, Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda) kepada TrustNews.
Publik tampaknya membeli janji itu. Target penumpang yang ditetapkan Pemprov DKI secara konsisten terlampaui: dari 65.000 per hari saat awal beroperasi, kini telah mencapai 112.000 per Maret 2025, dengan target 115.000 pada akhir tahun.
Ada dua strategi kunci di balik angka-angka ini. Pertama, pull strategy yakni menggandeng feeder seperti TransJakarta, ride-hailing, dan bahkan tebengan komunitas, terutama dari selatan kota, untuk mengalirkan penumpang ke stasiun MRT.
Kedua, dorongan kebijakan publik seperti ganjil-genap dan tarif parkir tinggi yang membuat penggunaan kendaraan pribadi semakin tidak menarik. Namun MRT Jakarta mengingatkan jangan bangun park and ride di pusat kota. Fasilitas itu seharusnya berada di pinggiran, untuk benar-benar mendorong peralihan moda.
Kontribusi MRT terhadap pergeseran moda transportasi di Jabodetabek kini sekitar 22%—angka yang mungkin kecil secara absolut, tetapi signifikan dalam konteks kota yang selama ini terpaku pada mobil pribadi. Integrasi dengan LRT Jabodebek, KRL, dan ekosistem JakLingko akan mempercepat pergeseran ini.
“TOD pun mulai menjamur, menciptakan simpul-simpul kehidupan urban baru di sekitar stasiun: hunian, ruang kerja, dan ruang publik. Semuanya terkoneksi tanpa perlu roda empat,” ujarnya.
Tuhiyat dalam nada lembut berkata, “Jakarta belum berubah sepenuhnya, dan mungkin belum akan dalam dekade ini.” Tapi di balik layar kaca stasiun bawah tanah, dalam deru lembut kereta yang tiba pukul 07.02 pagi, tersimpan janji: bahwa kota ini bisa, pelan-pelan, menjadi tempat tinggal yang lebih tertib, bersih, dan manusiawi.
“MRT Jakarta tidak hanya mengangkut tubuh warga dari satu titik ke titik lain. Kami mengantar mereka menuju kemungkinan versi terbaik dari kota ini,” pungkasnya. (TN)