
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang pekak, di mana suara bising sepeda motor dan mobil kerap mengalahkan ritme kehidupan sehari-hari, sebuah revolusi diam-diam sedang berlangsung. Sistem Mass Rapid Transit (MRT), dengan kereta-kereta modernnya yang melaju kencang di antara arteri kota yang tersumbat, telah membangkitkan antusiasme publik.
Namun, seiring bertambahnya minat terhadap transportasi ini, tantangan pun ikut membesar. Pertanyaannya bukan hanya bagaimana mempertahankan momentum ini, tetapi juga bagaimana memanfaatkannya untuk mengubah wajah perkotaan dan ekonomi Jakarta tanpa terjebak dalam masalah abadi kota ini: kemacetan.
Pusat dari tantangan ini terletak di wilayah seperti Lebak Bulus, tempat terminus selatan MRT menjadi magnet bagi para komuter.
“Masalahnya adalah bagaimana memperluas kantong-kantong parkir seperti di Lebak Bulus untuk mengakomodasi permintaan yang terus meningkat tanpa menyebabkan kemacetan atau parkir liar di pinggir jalan,” ujar Tuhiyat, Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda).
Solusinya sejauh ini bersifat pragmatis namun sementara. Bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Jakarta, area parkir di Lebak Bulus telah ditata ulang, meningkatkan kapasitas dari 500 menjadi 1.200 sepeda motor dan dari 200 menjadi 400 mobil melalui penataan yang lebih baik dan penggunaan paving block.
“Kami sedang bernegosiasi dengan PT Sarana Jaya untuk mengembangkan fasilitas Park-and-Ride vertikal di dekat Point Square, sebagai solusi permanen untuk mengurangi kemacetan,” ujarnya.
Strateginya jelas, yakni pusat parkir harus ditempatkan di pinggiran kota—Lebak Bulus, Fatmawati, dan sekitarnya—bukan di pusat Jakarta. Pendekatan ini, terinspirasi dari kota seperti Singapura, mendorong komuter untuk beralih ke transportasi umum seperti MRT, TransJakarta, atau LRT.
Di Singapura, katanya, apartemen dibangun di sekitar pusat transportasi, dan biaya parkir yang tinggi mencegah penggunaan mobil.
“Jakarta bisa mengikuti jejak ini, mungkin dengan menghidupkan kembali Electronic Road Pricing (ERP), meskipun itu bergantung pada kemauan politik,” jelasnya.
“Kami fokus memperbaiki akses ke stasiun dan mengintegrasikan layanan feeder, tetapi kebijakan seperti ERP atau aturan parkir ada di tangan pemerintah,” tambahnya.
Dampak MRT jauh melampaui mempermudah perjalanan. Studi dua tahun lalu bersama Fakultas Ekonomi dan Bisnis LPEM FEB UI menunjukkan adanya dampak luas dan cukup signifikan. Pembangunan mencakup jalur MRT fase 1 dan 2 serta pengoperasian jalur MRT fase 1. Dampak pembangunan MRT fase 1 dan 2 bagi perekonomian nasional mencapai Rp17,6 triliun per tahun, sedangkan bagi perekonomian DKI Jakarta mencapai Rp8,7 triliun per tahun.
Studi tersebut juga memperkirakan Fase 1 menciptakan 10,1 juta lapangan kerja, terutama melalui kontraktor lokal. Nilai tanah di sepanjang koridor MRT melonjak, menyumbang “land value capture” sekitar Rp1,6 triliun. Wilayah seperti Blok M, Cipete, dan Fatmawati mengalami kenaikan harga properti seiring MRT meningkatkan aksesibilitas.
Efek riaknya signifikan. Bisnis ritel di jalur MRT melaporkan efek pengganda, didorong oleh kemitraan dengan mal yang menawarkan promosi.
“Fase 1 telah mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga dan per kapita sebesar Rp170 triliun,” ujarnya.
Pendapatan pajak juga melonjak, dengan Jakarta meraup Rp500 miliar per tahun dan pemerintah pusat Rp526 miliar. Pajak properti saja menyumbang Rp60–Rp70 miliar setiap tahun untuk pemerintah provinsi. Dengan perluasan Fase 2 ke Kota dan jalur Timur–Barat di masa depan, angka-angka ini diperkirakan terus meningkat, menjanjikan dorongan besar bagi ekonomi Jakarta.
Keberhasilan MRT bergantung pada sumber daya manusia. “Sejak awal, kami menerapkan rekrutmen ketat,” jelasnya.
Akademi Perkeretaapian Indonesia (sekarang Politeknik Perkeretaapian Indonesia) Madiun. Selain PPI Madiun, MRT Jakarta juga bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi lainnya seperti Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD), Politeknik Negeri Jakarta, dan lain-lain.
Benchmark ke operator metro lainnya seperti Jepang, Hong Kong, Malaysia, India, Thailand, Singapura, dan lainnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan MRT Jakarta untuk menciptakan standar layanannya sendiri.
“Kami mengincar kualitas layanan setara pramugari Garuda,” sambungnya.
Dengan 770 karyawan, 80% di antaranya milenial di bawah 40 tahun, tenaga kerja ini muda dan dinamis. Selain keterampilan teknis, MRT menekankan keterampilan lunak seperti empati, komunikasi, dan pelayanan pelanggan yang dikoordinasikan oleh Divisi Human Capital. Magang dan beasiswa berkelanjutan memastikan peningkatan konsisten, memposisikan MRT sebagai operator kelas dunia.
“Dengan tenaga kerja yang disiplin dan visi strategis, MRT Jakarta dapat mengubah wajah kota ini,” pungkasnya.
(TN)