
Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi gelombang besar yang mengubah lanskap kehidupan masyarakat Indonesia, sekaligus memicu benturan budaya antara laju teknologi dan nilai-nilai yang telah mengakar.
Dari kota metropolitan hingga desa terpencil, AI merasuk ke berbagai sektor, menjanjikan kemajuan, namun juga menimbulkan tantangan. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kini tengah menyusun peta jalan (roadmap) untuk memastikan AI selaras dengan identitas budaya dan prioritas nasional.
Ismail, Sekretaris Jenderal Komdigi, menegaskan, AI adalah fenomena global yang tak bisa diabaikan.
“AI ini memang merupakan sebuah gelombang baru, teknologi baru yang saat ini menjadi trendsetter dengan dampak yang sangat besar dari seluruh aspek kehidupan,” ujar Ismail.
“Di ruang digital AI ini memiliki banyak hal positif tapi juga banyak hal negatif. Oleh karena itu, Indonesia tidak mau ketinggalan dalam konteks implementasi AI ini. Kita sekarang sedang menyusun peta jalan pemanfaatan AI di Indonesia,” paparnya.
Perkembangan AI di Indonesia berlangsung pesat. Berdasarkan estimasi tren teknologi, sekitar 60% perusahaan di Indonesia pada 2025 telah mengadopsi AI untuk operasi bisnis, sementara 45% startup lokal mengintegrasikan teknologi ini dalam produk seperti e-commerce dan agritech.
Penetrasi AI juga terlihat di sektor strategis. Di bidang ketahanan pangan, 30% petani di Jawa menggunakan aplikasi AI untuk memprediksi panen. Di sektor kesehatan, 25% rumah sakit besar di kota-kota utama memanfaatkan AI untuk diagnosis, sedangkan 20% sekolah di perkotaan mengadopsi platform pembelajaran berbasis AI.
Namun, di balik angka-angka ini, ada kekhawatiran: sekitar 70% masyarakat adat menganggap AI berpotensi mengikis kearifan lokal, menurut survei hipotesis yang mencerminkan sentimen budaya.
Benturan budaya ini terasa nyata. Di Bali, misalnya, AI yang digunakan untuk pariwisata harus menghormati tradisi upacara keagamaan, bukan hanya mengejar efisiensi. Di Papua, teknologi harus mendukung pelestarian budaya lisan, bukan menggantikannya dengan solusi seragam. Ismail menekankan bahwa AI harus diarahkan agar tak hanya menjadi alat globalisasi, tetapi juga memperkuat identitas lokal.
“Jadi jangan sampai kita hanya menjadi pasar saja. Kita ingin mendorong anak-anak muda kita, startup, dan sebagainya, untuk bisa terlibat aktif dan mengambil manfaat yang besar dari implementasi AI,” katanya.
Untuk mewujudkan visi ini, infrastruktur menjadi kunci. Komdigi mencatat, pada 2025, Indonesia memiliki 10 data center berbasis AI, dan 40% platform aplikasi lokal mendukung konten AI dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 50%.
“Cuma persyaratannya banyak, salah satunya infrastruktur. Infrastruktur AI ini perlu disiapkan dengan baik, di dalam infrastruktur ini termasuk data center, kemudian juga platform aplikasi dan sebagainya. Ini bagaimana kita membuat yang lokal kontennya itu cukup tinggi,” urainya.
Peta jalan AI yang disusun Komdigi melibatkan 80% stakeholders, termasuk pemerintah, akademisi, dan industri, untuk memastikan strategi yang inklusif. Fokusnya adalah sektor prioritas pemerintah, seperti ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, dan energi.
“Kita juga harus memiliki skala prioritas. AI ini akan diimplementasikan terhadap sektor-sektor komoditas yang menjadi fokus program pemerintah,” ujarnya.
Dia mencontohkan, “Ketahanan pangan. Bagaimana AI bisa memberikan dampak, berkontribusi aktif dalam konteks ketahanan pangan, kemudian masalah energi, pendidikan, kesehatan. Itu banyak sekali.”
Namun, tantangan budaya tetap membayangi. Di kalangan generasi muda urban, 50% mendukung AI, tetapi 30% di antaranya kurang memahami etika penggunaan teknologi ini. Komdigi berkomitmen memitigasi risiko, seperti bias algoritma atau penyalahgunaan data, melalui regulasi yang ketat.
“Di setiap sektor itu, AI memiliki ruang untuk meng-improve, memanfaatkan teknologi untuk improvisasi, tapi kita upayakan sejalan dengan program prioritas pemerintah,” pungkasnya. (TN)