trustnews.id

METI dorong infrastruktur tangguh untuk Indonesia maju
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID - Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memandang bahwa transisi menuju energi bersih bukan sekadar wacana atau target angka, melainkan sebuah proses transformasi yang memerlukan langkah nyata dan sistematis.

Menurut Executive Director METI Yudha Permana Jayadikarta, keberhasilan transisi energi sangat bergantung pada percepatan pembangunan infrastruktur pendukung yang terintegrasi, mulai dari jaringan transmisi hijau, fasilitas penyimpanan energi (battery energy storage system), hingga penguatan rantai pasok energi terbarukan di seluruh wilayah Indonesia. Tanpa infrastruktur yang kokoh dan saling terhubung, potensi energi bersih yang melimpah akan sulit dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat, ketahanan energi nasional, dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, kapasitas terpasang energi terbarukan (EBT) per Juni 2025 telah mencapai 14,7 persen atau 13,2 gigawatt (GW) dari total pembangkit nasional. Angka ini naik dari kisaran 10–11 persen pada 2020, namun masih jauh dari target 23 persen pada 2025 sebagaimana diamanatkan Perpres No. 112/2022. Artinya, dalam waktu singkat, Indonesia perlu menambah 7–8 GW EBT.

“Pemerintah sudah menunjukkan komitmen dengan RUPTL PLN 2025–2034 yang menargetkan 75 persen pembangkit baru berasal dari EBT. Namun, tanpa infrastruktur seperti transmisi hijau dan battery energy storage system (BESS), potensi listrik hijau akan sia-sia,” tegas Yudha kepada TrustNews belum lama ini.

Diakuinya, langkah percepatan sudah dimulai. Permen ESDM terbaru di 2025 menyederhanakan penetapan tarif PLTS dan mempercepat perizinan panas bumi, sementara di sektor bahan bakar nabati, pemerintah memperluas program biodiesel menuju B40 dan meningkatkan serapan biomassa untuk co-firing PLTU. Meski begitu, Yudha menegaskan, kunci keberhasilan ada pada sinkronisasi lintas sektor.

METI yang kini beranggotakan lebih dari 1.000 individu dan lembaga, menjadi wadah kolaborasi strategis antara pemerintah, BUMN, swasta, akademisi, hingga komunitas energi daerah. Dengan jejaring luas yang mencakup hampir seluruh provinsi, METI aktif mendorong advokasi kebijakan, fasilitasi proyek, dan peningkatan kapasitas SDM energi terbarukan.

Namun, jalan menuju kemandirian energi tidak tanpa hambatan. Yudha mengungkapkan tantangan terbesar mencakup regulasi yang belum seragam di daerah, proses financial close yang lambat, gap pembiayaan yang besar, hingga keterbatasan infrastruktur pendukung. “Investasi tahunan yang dibutuhkan di atas 20 miliar dolar AS, sementara realisasi masih di bawah 6 miliar dolar. Ini harus ditutup dengan inovasi pendanaan seperti blended finance dan green bonds,” jelasnya.

Selain itu, METI melihat urgensi memperluas fokus dari kelistrikan ke bahan bakar alternatif, seperti sustainable aviation fuel (SAF), hidrogen hijau, dan amonia. Pengembangan ini diyakini akan mengurangi ketergantungan pada impor BBM sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.

Keberhasilan METI diukur bukan hanya dari jumlah kegiatan atau anggota, tetapi dari kontribusi nyata pada peningkatan kapasitas EBT, diadopsinya kebijakan yang pro-investasi, dan partisipasi aktif anggota dalam proyek strategis. Kolaborasi lintas sektor dan lintas negara juga menjadi indikator penting.

Yudha menutup dengan pesan, sinergi antar-pemangku kepentingan merupakan roh dari keberhasilan transisi energi. “Kemerdekaan energi adalah bagian dari kemerdekaan bangsa. Sama seperti perjuangan kemerdekaan yang berhasil karena gotong royong, transisi energi juga membutuhkan persatuan semua pihak. METI siap menjadi dirigen orkestra energi terbarukan Indonesia.” (TN)