
TRUSTNEWS.ID - Di tengah keberadaan pelaku perbankan yang berskala nasional di wilayah Jakarta, Bank Perekonomian Rakyat (disingkat BPR, sebelumnya bernama Bank Perkreditan Rakyat) memiliki peranan penting dalam menyediakan akses dan meningkatkan inklusi keuangan, serta berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Namun demikian, BPR masih menghadapi tantangan struktural untuk dapat terus tumbuh secara sehat dan kuat.
Khusus di wilayah kerja Kantor OJK Jabodebek (KOJT), Edwin menyebutkan adanya penyesuaian wilayah kerja pengawasan BPR di KOJT, yang sebelumnya hanya DKI Jakarta menjadi diperluas meliputi Bogor, Depok, dan Bekasi, sehingga jumlah BPR yang diawasi tercatat sebanyak 141 BPR.
Menurut Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jabodebek, Edwin Nurhadi, “sebagian dari jumlah tersebut masih membutuhkan penguatan di sisi permodalan, maupun tata kelola, mengingat masih terdapat beberapa BPR yang belum memenuhi ketentuan modal inti minimum sebesar Rp6 Miliar”.
“Ketentuan modal inti minimum dimaksud merupakan bentuk keberpihakan OJK terhadap penguatan kapasitas BPR agar dapat beroperasional dalam skala ekonomi yang memadai, serta mendorong konsolidasi BPR melalui merger dan/atau akuisisi,” ujarnya.
Edwin menambahkan dalam menerapkan ketentuan dimaksud, masih terdapat beberapa tantangan antara lain Pemegang Saham yang tidak mau kehilangan pengendalian pada BPR yang dimilikinya, sehingga dalam mendorong pemenuhan ketentuan dimaksud, OJK terus melakukan sosialisasi dan diskusi kepada industri BPR, serta menegaskan bahwa ketentuan tersebut bukan merupakan pilihan namun wajib dipatuhi agar BPR mampu menjaga eksistensinya di tengah persaingan pasar yang ketat.
Edwin juga menyoroti fenomena pada beberapa BPR Syariah yang dinilai masih memerlukan perbaikan mendasar khususnya pada penerapan prinsip Syariah. “Harus dihindari seperti penerapan akad murabahah yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan penetapan margin yang masih sulit dipahami oleh nasabah.” ujar Edwin.
“BPR Syariah memiliki tantangan tersendiri karena membawa label “Syariah”, sehingga seharusnya dengan label dimaksud, BPR Syariah memiliki komitmen yang lebih kuat dalam mewujudkan praktik perbankan yang beretika, bermoral, dan senantiasa menerapkan tata kelola yang adil, serta memiliki tanggung jawab sosial yang lebih tinggi agar terlihat secara jelas diferensiasinya dari lembaga keuangan konvensional”, lanjut Edwin.
Namun menurut Edwin, pembenahan tak cukup hanya dilakukan pada institusi keuangan. Edwin menekankan pentingnya integritas para pengawas. OJK, lanjutnya, terus menata mekanisme kerja internal agar permasalahan yang ada dapat diupayakan penyelesaiannya.
“Kalau pengawasnya tidak independen, justru bisa jadi pintu masuk terjadinya pelanggaran. Kami pastikan pengawas-pengawas di wilayah kami bekerja dengan standar etik yang ketat,” ujarnya.
Di tengah tekanan eksternal dari ketidakpastian geopolitik global, perlambatan ekonomi, hingga ancaman tarif dagang, BPR menjadi salah satu titik rawan dalam sistem keuangan.
“Ini bukan lembaga kecil yang bisa dikesampingkan. Kalau satu runtuh, dampaknya bisa berantai,” ujarnya.
Meskipun jalan yang ditempuh BPR tidak mudah, Edwin percaya masa depan BPR cerah selama ada kemampuan untuk beradaptasi. Ia mencontohkan pada upaya penguatan bank umum, inisiatif Kelompok Usaha Bank (KUB) seperti Bank DKI dengan Bank Maluku Malut sebagai bentuk sinergi yang produktif dan saling menguntungkan dalam skema konsolidasi Bank.
“BPR bisa meniru model itu. Kalau digabung dalam satu holding, efisiensi bisa dicapai, ekspansi juga bisa dilakukan. Kita tidak sedang mengecilkan yang kecil. Kita sedang memperkuat akar,” pungkasnya. (TN)