trustnews.id

KOMITE TEKNIS 11-17: Mengokohkan Biosekuriti di Negeri Kepulauan
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID - Wisnu Wasisa Putra mendapat kesempatan mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LXIII pada tanggal 2 Juni–15 Oktober 2025. Dalam proyek perubahannya mengangkat tema Membangun Sistem Karantina Hewan yang Baik dan Terstandar (Good Animal Quarantine Practices).

Dalam layanan perkarantinaan, Badan Karantina Indonesia terus berkomitmen memberikan layanan cepat dan transparan. Penguatan standar perkarantinaan menjadi kunci agar layanan berjalan seragam di seluruh wilayah.

Komite Teknis 11-17 Karantina Hewan adalah komite yang dibentuk dan ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Ia menjadi bagian dari 173 komite teknis di lingkup kementerian dan lembaga, sekaligus yang pertama di Badan Karantina Indonesia.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer. Kondisi geografis ini menjadikan pintu masuk hewan, produk hewan, dan bahan pembawa penyakit terbuka lebar.

Karantina hewan tidak bisa lagi dipandang sekadar urusan administratif. Ia adalah garda depan keamanan biologis. Satu celah kecil, satu standar yang diabaikan, bisa membawa dampak berlapis: kerugian ekonomi miliaran dolar, bahkan ancaman terhadap kesehatan manusia.

Sejarah mencatat betapa cepatnya penyakit menyeberang batas negara. Wabah flu burung, African Swine Fever, dan penyakit mulut dan kuku (PMK) menjadi pengingat bahwa patogen tidak mengenal batas.

Dalam perdagangan bebas, standar karantina bukan sekadar proteksi domestik. Ia adalah bahasa diplomasi. Tanpa standar jelas, ekspor ditolak, reputasi produk ternoda, dan peternak kecil menjadi korban pertama.

Komite Teknis 11-17 hadir untuk menutup celah itu. Tetapi tantangan terbesarnya bukan hanya merumuskan dokumen SNI. Tantangan sejatinya adalah memastikan standar hidup dalam praktik sehari-hari: di pelabuhan kecil Nusa Tenggara, di bandara internasional, hingga laboratorium pengujian. Standar hanya sekuat kepatuhan mereka yang melaksanakannya.

Dimensi politik dan ekonomi sering terlewat publik. Setiap kali Indonesia memperketat karantina, eksportir asing bisa mengeluh soal hambatan non-tarif. Namun bila aturan dilonggarkan, biosekuriti domestik terancam.

Menjaga keseimbangan ini memerlukan kepemimpinan berani sekaligus diplomasi cermat. Di sinilah urgensi standar nasional yang tersambung dengan praktik internasional seperti World Organization for Animal Health (WOAH).

Peran Komite Teknis 11-17 kian penting di tengah ambisi pemerintah mendorong ekspor produk peternakan. Bayangkan bila ekspor kambing, domba, unggas, dan telur tertunda karena prosedur karantina dianggap tidak memadai.

Hilangnya pasar bukan sekadar soal devisa, tapi pukulan psikologis bagi pelaku usaha. Konsistensi dalam standar karantina bisa menjadi reputasi bernilai tak ternilai.

Namun kita harus jujur menghadapi keterbatasan. Implementasi standar membutuhkan laboratorium modern, tenaga profesional terlatih, dan koordinasi lintas lembaga yang tidak jarang tersendat birokrasi. Tanpa investasi serius, standar berhenti menjadi simbol prosedur bukan alat perlindungan nyata.

Membangun karantina hewan adalah proyek peradaban. Ini tentang bagaimana bangsa melindungi rantai pangan, menjaga kesehatan publik, dan menunjukkan tanggung jawab global.

Indonesia kerap bicara tentang peran strategis di panggung internasional. Tetapi kredibilitas diuji pada hal-hal teknis: apakah hewan yang masuk atau keluar negeri benar-benar bebas penyakit berbahaya.

Sebagai Ketua Komite Teknis 11-17, penulis menekankan kolaborasi lintas sektor: dari akademisi, asosiasi usaha, hingga lembaga internasional. Itulah wajah baru tata kelola karantina: inklusif, berbasis ilmu pengetahuan, dan terbuka terhadap praktik terbaik dunia.

Bila dijalankan konsisten, ia tidak hanya melindungi Indonesia, tetapi memperkuat posisi negara dalam perdagangan dan diplomasi pangan global.

Sejarah akan menilai apakah SNI Tata Cara Karantina Hewan yang Baik menjadi pondasi biosekuriti Indonesia. Pilihan ada pada kita: apakah standar itu hanya dokumen di rak-rak kantor, atau budaya kerja yang menjaga masa depan bangsa.

Kenyataan pahit tetap harus diakui: tanpa komitmen politik nyata, standar terbaik pun bisa mandek. Karantina hewan masih dianggap urusan teknis pinggiran, kalah prioritas dibanding proyek mercusuar yang menjanjikan sorotan publik.

Anggaran untuk laboratorium modern, pelatihan tenaga ahli, dan pengawasan di pelabuhan kecil masih jauh dari cukup. Transparansi dan akuntabilitas pun kerap kabur, memberi ruang kompromi yang melemahkan fondasi sistem.

Opini ini menegaskan satu hal sederhana: biosekuriti bukan biaya, melainkan investasi. Negara yang gagal menjaga pintu masuk hewannya mempertaruhkan pangan, kesehatan, dan masa depan ekonomi.

Indonesia bisa memilih menjadikan Komite Teknis 11-17 instrumen perubahan serius, atau membiarkannya terjebak ritual birokrasi. Dunia tidak akan menunggu. Patogen pun tidak mengenal kompromi.