trustnews.id

Perkebunan Indonesia Arah Baru di Bawah Prabowo
Doc, istimewa

TRUSTNEWS.ID - Di balik hamparan hijau perkebunan luas yang membentang di nusantara, sektor ini merupakan denyut nadi ekonomi Indonesia. Lebih dari 20 juta jiwa bergantung langsung padanya, mulai dari petani kecil yang menggarap lahan keluarga hingga pekerja di pabrik pengolahan.

Industri ini menyumbang sekitar 3,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara dan menghasilkan pendapatan ekspor tahunan lebih dari US$35 miliar. Angka-angka ini mengesankan, tapi menyembunyikan paradoks mendalam. Masih banyak komunitas perkebunan hidup dalam kemiskinan, sementara keuntungan besar dinikmati perusahaan multinasional dengan skala dan teknologi unggul. Petani kecil kerap tertinggal di ujung rantai pasok dengan harga jual rendah—ketimpangan yang kini coba diubah pemerintah.

"Industri perkebunan harus menjadi penyangga kemakmuran rakyat. Inilah arah baru yang kami dorong," ujar Abdul Roni Angkat, Plt Direktur Jenderal Perkebunan di Kementerian Pertanian Indonesia, kepada TrustNews.

Untuk mewujudkan visi ini, Kementerian Pertanian memperkuat tiga bidang utama, yaitu memberdayakan petani kecil, meningkatkan akses pembiayaan, dan mendorong pengolahan hilir.

"Presiden Prabowo dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman telah menekankan bahwa hilirisasi adalah jalan menuju kemandirian ekonomi. Ini bukan hanya meningkatkan pendapatan, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat basis ekonomi rakyat," tegasnya.

Di lapangan, inisiatif ini mulai menampakkan hasil nyata. Ambil contoh di Lampung Barat, koperasi petani kopi kini tidak hanya memanen biji, tapi juga mengolahnya menjadi kopi bubuk kemasan premium yang dijual secara daring melalui platform e-commerce.

"Penjualan mereka melonjak hingga 50% dalam setahun terakhir, berkat dukungan pelatihan digital dari pemerintah," ungkapnya.

Di Sulawesi Selatan, kelompok tani kakao membentuk usaha cokelat artisan dengan merek lokal sendiri.

"Mereka menggunakan teknik fermentasi modern untuk menghasilkan rasa premium yang diekspor ke Eropa, meningkatkan harga jual dari Rp20.000 per kg biji mentah menjadi Rp100.000 per batang cokelat olahan," jelasnya.

Sementara itu, di Sumatra Utara, kilang minyak sawit skala kecil bermunculan di desa-desa. Dengan modal dari program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperluas, petani bisa membeli mesin sederhana untuk memproduksi minyak goreng kemasan.

"Dulu, kami hanya menjual tandan buah sawit ke pabrik besar dengan harga ditentukan orang lain. Sekarang, kami mengolah sendiri dan dapat margin lebih besar," cerita seorang petani yang terlibat dalam program tersebut, seperti dikutip Abdul Roni Angkat.

Perubahan ini, lanjutnya, tak lepas dari dukungan program peremajaan sawah dan kebun tua yang mencakup lebih dari 1 juta hektare lahan sejak 2024. Pemerintah juga memperkuat pelatihan manajemen usaha tani, termasuk penggunaan aplikasi mobile untuk monitoring cuaca dan harga pasar.

Ilustrasi perkebunan. (AI generated)

Kemitraan adil antara perusahaan besar dan petani kecil ditekankan melalui kontrak plasma yang transparan, di mana perusahaan wajib menyediakan bibit unggul dan teknologi tanpa membebani utang berbunga tinggi.

Namun, diakuinya, perjalanan ini tak mulus. Tantangan klasik seperti konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan masih sering muncul, terutama di Kalimantan dan Papua. Keterbatasan modal tetap menjadi hambatan, dengan banyak petani kesulitan akses kredit karena kurangnya agunan. Generasi muda enggan bertani karena citra sektor tradisional yang melelahkan dan berpenghasilan rendah.

"Itulah mengapa kami percepat digitalisasi data lahan nasional melalui satelit dan blockchain untuk mencegah sengketa," ujarnya.
"Kami juga perluas pembiayaan mikro dengan bunga rendah dan kembangkan sistem pelacakan rantai pasok berkelanjutan," jelasnya.

Dengan fakta bahwa lebih dari 70% lahan perkebunan dikelola petani kecil—total mencapai 14 juta hektare—kebijakan ini berdampak langsung pada jutaan rumah tangga. Pemerintah menargetkan peningkatan pendapatan petani hingga 30% dalam lima tahun melalui hilirisasi, didukung anggaran Rp10 triliun untuk infrastruktur pengolahan desa.

"Jika berhasil, ini tak hanya mengurangi kemiskinan pedesaan, tapi juga memperkuat ekspor nilai tambah yang diproyeksikan capai US$50 miliar pada 2030," ungkapnya.
"Inilah esensi pembangunan perkebunan yang benar-benar berpihak pada rakyat," pungkasnya. (TN)