Turunnya impor bahan baku dan barang penolong menimbulkan gambaran ketidakpastian perekonomian domestik. Impor bukan hal tabu dan bikin alergi banyak pihak.
Kinerja impor bahan baku dan barang penolong yang terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan ekspor menggambarkan perekonomian domestik masih diliputi masalah dan ketidakpastian.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) di awal tahun, memaparkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2020 surplus 21,739 miliar dollar AS. Nilai surplus ini terbesar sejak 2011. Surplus terjadi karena impor pada 2020 terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan ekspor.
Indonesia membukukan ekspor senilai 163,307 miliar dollar AS pada 2020 atau turun 2,61 persen dibandingkan dengan 2019, sementara impor sepanjang 2020 sebesar 141,568 miliar dollar AS atau terkontraksi 17,34 persen secara tahunan.
Impor bahan baku dan barang penolong yang menyokong proses produksi industri pada 2020 anjlok 18,32 persen dalam setahun. Adapun impor barang modal yang menandai geliat investasi merosot 16,73 persen. Impor barang konsumsi pada 2020 turun 10,93 persen dibandingkan dengan 2019.
Data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada 2020 adalah 44,69. PMI Indonesia pada 2020 masih jauh di bawah PMI 2019 yang sebesar 49,74 atau PMI 2018, yakni 50,9. PMI pada posisi 50 penguatan aktivitas industri.
Bahkan, sampai dengan Juli 2021, kinerja sektor manufaktur kembali anjlok sebesar 40,1 atau turun drastis dari 53,5 pada bulan Juni 2021. Ini sebagai dampak dari lonjakan kasus Covid-19 pada bulan Juli 2021 yang menyebabkan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan dilanjutkan dengan PPKM Level 4.
Sedangkan di Agustus 2021, manufaktur Indonesia tercatat sebesar 43,7 poin pada Agustus 2021. Angka tersebut mencerminkan bahwa aktivitas manufaktur Indonesia masih terkontraksi. Meski demikian, skor PMI manufaktur Indonesia sudah meningkat 8,98% dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 40,1.
Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Irwan Prajitna mengungkap pandemi Covid-19 sepanjang 2020-2021 telah membuat perdagangan global melemah, baik dari sisi pasokan maupun permintaan.
Hal ini berimbas terhadap perekonomian Indonesia yang didominasi bahan baku dan barang penolong. Pada 2020, impor bahan baku dan barang penolong untuk kebutuhan industri mencapai 72,91 persen dari total nilai impor.
"Turunnya impor bahan baku dan penolong akibat pandemi, secara tidak langsung membuka mata kita bahwa ada yang salah pada cara pandang terhadap impor selama ini," ujar Irwan menjawab TrustNews.
"Orang selalu salah kaprah dan alergi dengan kata impor. Kita maunya ekspor, ekspor dan ekspor. Ekspor itu pahlawan bagi negara, karena masuknya devisa. Sebenarnya nggak gitu juga persepsi pemikirannya," paparnya.
Baginya, tidak ada satu negara terkuat pun di dunia ini yang tidak impor. Bahkan, China dan Amerika Serikat sekalipun tetap melakukan impor hingga memicu perang dagang di antara keduanya.
Impor itu silahturahmi dan sebuah keniscayaan," tegasnya
"Sekuat apa negara yang bisa melakukan semua sendiri. China sebesar itu saja melakukan importasi besar-besaran. Amerika juga besar-besaran. Itulah namanya hubungan silaturahmi antar negara, ada ekspor dan ada impor," ucapnya.
Dirinya juga mengingatkan bahwa 90 persen bahan baku dan barang penolong masih impor. Bahkan Dari segi yang lebih makro, sekitar 64 persen dari total industri di Indonesia masih mengandalkan bahan baku, bahan penolong serta barang modal dari impor untuk mendukung proses produksi.
"Tidak perlu alergi dengan impor bahan baku dan barang penolong. Karena sumbangsihnya pada negara juga besar. Barang alat kesehatan dan alat-alat berat masih impor. Jangan salah penafsiran bahwa impor itu adalah hal yang tabu," jelasnya.
"Kalau kita hanya mikir ekspor dan menutup pintu impor bahan baku dan barang penolong, jangan salahkan negara lain kalau mengambil langkah serupa. Jadi harus seimbang, karena kita hidup ini saling terkoneksi satu dengan lainnya," paparnya.
Apalagi dalam kondisi menghadapi pandemi, menurutnya, semua pihak harus mulai mengambil sikap "bagaimana manusia hidup bersama dengan Covid-19", karena tidak tahu kapan berakhirnya.
"Bagaimana kita berteman atau berkawan dengan si Covid-19 ini supaya kita bisa tetap eksis. Karena banyak yang babak belur," ungkapnya.
"Pemerintah tetap fokus pada penanganan pandemi, tapi kita ini (importir) juga dilihat. Para pelaku importir juga butuh dukungan yang kongkrit dari pemerintah. Hal yang sederhana saja, saat terjadi kendala pada sistim di Bea dan Cukai, ada nggak yang care sama kita," pungkasnya. (TN)