Masyarakat Indonesia lekat dengan kisah Mahabarata dan Ramayana, sebuah akulturasi budaya masuknya Hindu ke Indonesia. Dalam periode Indonesia kekinian, generasi millennial Hindu mulai tumbuhkan gerakan membaca Bhagavad-Gita.
Sejarah perkembangan Hindu di Indonesia memiliki proses alkulturasi yang menarik dengan budaya lokal. Perkenalan Hindu dengan masyarakat secara tidak langsung melalui kesusastraan yang menceritakan kisah-kisah kepahlawanan para raja dan ksatria Hindu pada masa lampau, dibumbui oleh filsafat, agama, mitologi dan makhluk supranatural (itihasa).
Sampai saat ini, masyarakat Indonesia begitu lekat dengan kisah Mahabarata dan Ramayana dibandingkan dengan Catur Veda Samhita –empat himpunan Kitab Suci Veda yakni Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharva Veda- yang dianggap sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Melalui kisah Mahabarata dan Ramayana, masyarakat tidak saja diperkenalkan tapi juga diajarkan tentang setia pada janji (Resi Bisma), setia pada teman (Karna), belajar kepatuhan pada ibu (Pandawa), belajar soal hukum dan kebijaksanaan (Yudhistira dan Sri Krisna), belajar keangkuhan (Duryodana) dan belajar kelicikan berpolitik (Sengkuni).
Kisah-kisah dalam Mahabarata dan Ramayana tersebut tidak saja berkembang secara ‘getuk tular’ (dari mulut ke mulut), namun dalam perkembangannya menggunakan sarana visual yakni wayang, tarian, seni peran dan lukisan, dan melalui film (sinetron dan layar lebar). Lewat jalur kesenian, jauh lebih mudah dipahami dan diingat dengan cara menyenangkan, daripada mempelajari kitab suci secara langsung yang tidak saja sulit, tapi juga dianggap membosankan.
Dalam periode kekinian, generasi muda Hindu di jaman millennial mulai tumbuhkan gerakan untuk membaca kitab suci, terutama membaca Bhagavad-Gita, salah satu tujuannya, untuk memahami siapa sesungguhnya Krisna dan Arjuna dalam kisah Mahabarata.
Bhagavad-Gita memuat berbagai tuntutan dan pedoman hidup yang semestinya dijalankan oleh setiap mahluk hidup dalam menjalankan kewajiban dan tugasnya sehari-hari. Untuk bisa menjalankan apa yang tertuang dalam Bhagavad-Gita harus dimulai dari diri sendiri dengan cara membacanya dan memperaktekkannya dalam kehidupan setiap hari.
Mengapa hal itu dilakukan, karena agama alam perkembangannya tidak lagi komunal seperti dulu. Namun, manusia beragama dengan kesendirian dirinya. Agama menjadi bersifat komunal pada hari-hari tertentu, yakni hari-hari besar. Misalnya perayaan Purnama dan Tilem yang merupakan bagian dari Naimitika Yadnya (ritual yang dilakukan pada waktu tertentu).
Pada hari-hari tersebut dijadikan momentum bagi umat Hindu sebagai tombak untuk mengingatkan pada diri manusia dengan berbagai perenungan.
"Seperti perenungan, siapa diri kita dan untuk apa melakukan perjalan di dunia ini? Siapa kita dan hidup kita mau kemana tujuan kita?. Hal ini dilakukan dengan maksud sebagai manusia, kita tetap punya harapan dan tujuan," ujar Dirjen Bimas Hindu, I Ketut Widnya kepara Trust News.
Ada banyak pertanyaan, mengapa manusia mengakhiri hidup dengan jalan bunuh diri. Padahal sejatinya manusia hidup hanyalah menungu mati. Dalam perjalanan menunggu mati itulah, manusia bekerja, berkeluarga dan bermasyarakat agar tidak bosan menjalani hidup.
Sebagaimana masyarakat Hindu Bali menggambarkan bulan itu Purnama (terang) dan Tilem (mati), tujuannya mengajarkan manusia tentang adanya sisi gelap dan terang pada kehidupan yang datang silih berganti mengelilingi kehidupan.
Selain itu manusia juga diajarkan jika senang janganlah terlalu larut dengan kesenangan tersebut, begitu juga saat manusia dalam keterpurukan janganlah terlalu bersedih dan harus bangkit karena pasti ada jalan terang menunggu di depan.
Perayaan-perayaan hari suci yang begitu banyak diadakan, ditujukan sebagai upaya manusia untuk kembali kepada Tuhannya dan secara terus-menerus dibawa kepada pusat peradaban yang disebut perahu dharma. Perahu dharma ini dikendalikan oleh orang-orang suci dan kitab-kitab suci yang akan membawa manusia mencapai tujuannya. Perahu itu adalah dharma yang membawa manusia mencapai moksa. (TN)