Angka kematian terus saja bertambah dari hari ke hari. Hingga Jumat (10/5), jumlah penyelenggara pemilu ad hoc - Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) - yang meninggal dunia sebanyak 469 orang. Selain itu tercatat 4.602 orang dilaporkan sakit hingga total 5071 orang.
Tak pelak besarnya angka kematian itu menimbulkan polemik sebab musabab hilangnya nyawa para petugas penyelenggara pemilu. Bahkan di media sosial diramaikan dengan narasi, meninggalnya petugas penyelenggara Pemilu 2019 karena diracun.
Melihat silang sengkarut tersebut, sejumlah dokter dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta. Para dokter ini menyampaikan dugaan analisis penyebab ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dan sakit. Dekan FK UI Ari Fahrial Syam, mengatakan, ada sejumlah faktor gugurnya para petugas pemilu.
Pertama, Umur petugas terlalu tua, Ari menjelaskan data KPU menyatakan sebanyak 70 persen petugas KPPS berusia lebih dari 40 tahun. Riwayat kesehatan mereka tidak diketahui sebelumnya, padahal risiko penyakit kronis makin meningkat seiring usia.
"Dari pengalaman dan keilmuan kita tahu kemungkinan mengalami berbagai penyakit kronis lebih besar di usia lebih dari 60 tahun. Penyakit ini misalnya hipertensi, serangan jantung hingga kanker," ujarnya Ari.
Kedua, ada yang punya riwayat sakit. Berdasarkan pengakuan Ari yang mewawancarai keluarga 2 petugas KPPS yang meninggal saat menjalankan tugas. Salah satu petugas punya riwayat hipertensi yang tekanan darahnya naik karena beban kerja. Sementara satu lagi kerap merasa sesak napas yang ternyata serangan jantung.
Petugas ini hanya 1 jam bertahan di rumah sakit sebelum akhirnya berpulang. FKUI beraudiensi dengan KPU RI perihal jumlah anggota penyelenggara pemilu adhoc yang mengalami sakit hingga meninggal dunia.
"Kita belum tahu jumlah petugas yang sebelumnya telah sakit. Namun dengan adanya riwayat sakit dan beban kerja yang berat, maka kemungkinan kambuh hingga mengganggu kesehatan petugas KPPS makin besar," kata Prof Ari.
Ketiga, Kerja tidak memperhatikan waktu. Menurut Ari, seseorang biasanya bisa bekerja dengan optimal dalam waktu 8 jam. Sayangnya petugas KPPS bisa bekerja hingga 20-24 jam bahkan tidak tidur hingga beberapa hari untuk menyelesaikan perhitungan suara.
"Jam kerja seperti ini yang akhirnya meningkatkan risiko kambuh pada petugas yang sebelumnya punya riwayat sakit. Mungkin ke depannya harus ada perbaikan sistem misal giliran (shift)," paparnya.
Keempat, Lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat. Sebagaimana diketahui, petugas KPPS umumnya langsung bekerja usai pemungutan suara selesai dilaksanakan. Cuaca panas, dingin, berangin kencang menjadi risiko yang harus dihadapi petugas KPPS.
"Lingkungan kerja yang kurang memenuhi syarat tidak membantu petugas KPPS menyelesaikan tugasnya. Petugas bisa bekerja dengan lebih baik di lingkungan yang sehat dan nyaman," ujarnya.
Pernyataan yang dikemukakan para dokter dari FKUI di atas, tidak terlalu jauh berbeda dengan pengakuan Ketua KPPS TPS 79, Bantar Jati, Bogor Utara, Jawa Barat, Hartoyo, soal betapa melelahkannya proses Pemilu 2019.
Dia menceritakan, seminggu sebelum hari pencoblosan, selama dua hari diadakan bimbingan teknis (Bimtek).
“Malam sebelum hari pencoblosan, semua petugas TPS termasuk Ketua KPPS menunggu datangnya kotak suara yang baru tiba jam 23.00. pada hari pencoblosan, jam 05:30 semua petugas sudah siap di TPS hingga jam pencoblosan di tutup jam 13:00,” akunya.
Namun proses selanjutnya, menuurutnya, yang sangat-sangat menyita konsentrasi dan tenaga, yakni proses perhitungan suara dimulai. Hal ini dikarenakan, selalu ada pertentangan dari saksi-saksi mengenai sah atau tidaknya suara.
“Butuh waktu yang lama dari jam 14:00 dan baru rampung perhitungan jam 21:00. Dalam masa ini waktu istirahat petugas teramat singkat, tidak lebih dari 5 menit dan harus bergantiian bahkan urusan makan siang dan makan malam terlewatkan,” ujarnya.
Dia pun mengakui ada banyak kesalahan berupa kekeliruan dalam memasukkan data dalam pengisian form yang jumlahnya 5 rangkap untuk pemilihan presiden, DPRD, Provinsi, DPRD, DPD, dan DPR RI.
“C1 itu sangat tebal dan harus ditulis tangan, jadi wajar bila ada Kekeliruan saat memasukkan data dimana kondisi tubuh sudah kelelahan dan dilakukan pada malam hari. Namun setiap kesalahan langsung diperbaiki karena ada banyak saksi-saksi yang mengoreksinya,” paparnya.
Pengakuan Hartoyo di atas, bisa saja dirasakan sama oleh personel KPPS sebanyak 7.385.500 orang. Hal inilah yang menurut Dokter Ahli Bedah Paru, Benny Octavianus, beban anggota KPPS yang tidak seimbang antara kerja dan istirahat telah memicu kelelahan yang berlebihan. Apalagi ada anggota KPPS yang bekerja lebih dari 24 jam sehari.
Benny juga menyoroti faktor usia yang menjadi salah satu penyebab kematian selain akibat kelelahan. Menurutnya, kematian akibat kelelahan lebih banyak menyebabkan kematian padahari pertama dan kedua pelaksanaan pemilu. Sementara itu, meningkatnya jumlah angka kematian setelah dua hari hingga tujuh hari sangat dimungkinkan akibat stres.
"Saya meyakini hampir 90 persen penyebab kematian ini adalah faktor jantung," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan sendiri telah memerintahkan Dinas Kesehatan di tiap-tiap daerah untuk mencari tahu penyebab kematian petugas KPPS tersebut dan mengawasi kesehatan petugas pemilu.
Dari sejumlah daerah itu, baru Provinsi DKI Jakarta yang menyelesaikan laporannya. Menurut Menkes Nila F Moeloek, Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah melakukan audit medis dan otopsi verbal terhadap 18 petugas KPPS di DKI Jakarta yang meninggal.
"Dari data 18 orang ini diketahui penyebab meninggal dunia. Delapan orang sakit jantung mendadak, kemudian gagal jantung, liver, stroke, gagal pernafasan, dan infeksi otak meningitis," tutur Nila saat jumpa pers di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 8 Mei 2019, dikutip dari kompas.com.
Selain itu, Nila mengungkapkan, 18 petugas KPPS di DKI Jakarta yang meninggal dunia rata-rata telah berumur diatas 50 tahun. Selain hasil audit medis DKI Jakarta, sejumlah petugas KPPS daerah lain yang meninggal juga karena sakit tertentu. Di Surabaya, misalnya, petugas TPS 19 Pacar Keling, Tommy Heru Siswantoro meninggal dunia setelah mengalami sesak napas. Hasil pemeriksaan dokter setempat, bahwa korban menderita pembengkakan jantung.
Ada juga petugas KPPS yang meninggal karena kecelakaan, seperti yang menimpa Ahmad Salahudin yang bertugas di TPS 081 Kranji, Bekasi Barat meninggal karena kecelakaan di Jalan Raya Pekayon, Bekasi Selatan, pada Kamis, 18 April 2019 sekitar pukul 07.00.
Untuk menjawab analisa tersebut, Ketua Umum Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Djazuli Ambari berharap ada audit medis dan forensik guna mengetahui penyebab pasti meninggalnya para petugas Kelompok Penyeleggara Pemungutan Suara (KPPS) di Pemilu 2019.
Djazuli menilai audit forensik dapat berupa autopsi. Keterangan lengkap yang didapat dari audit itu, lanjut dia, dapat menjadi pijakan pertimbangan dalam membuat regulasi untuk pemilu mendatang.
"Audit medis dan forensik ini bisa berisi laporan kronologis medis perawatan dari korban sampai meninggal dunia," ujar Djazuli.
Perihal perlunya autopsi didukung oleh Hartoyo dengan tujuan mengakhiri segala dugaan yang sudah menjurus fitnah terkait penyebab meninggalnya petugas penyelenggara pemilu.
“Silahkan saja kalau memang dianggap perlu, tidak perlu semuanya cukup tiga sampel yang diambil untuk dilakukan autopsi. Kita sudah bekerja dengan begitu banyak saksi dan sangat melelahkan, bila kemudian ada yang begini begitu dan diyakini dengan autopsi bisa menuntaskannya, ya monggo-monggo saja,” pungkasnya. (TN)
Baca Juga :