“Salah satu unsur penting yang bisa membuat kita bertahan sebagai sebuah bangsa adalah kebudayaan”.
Hilmar Farid tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Bahkan, saat orang lain berbicara tentang Revolusi Industri 4.0 dengan segala euforia, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini justru balik bertanya, “Tempat kita di dalam perkembangan teknologi itu ada dimana?”
Sebuah pertanyaan dengan beragam jawaban bisa diberikan, namun baginya, kekuataan yang selama ini dimiliki bangsa Indonesia menjadi penentu tempat Indonesia dalam perubahan global yang tak mungkin dihindari adalah kebudayaan.
“Tantangannya bukan sekedar penguasaan teknologi, dibandingkan dengan negara-negara lain, modal dan kekuatan bangsa Indonesia yang bisa menjadi penentu tempat kita di dalam perubahan global ini yaitu kebudayaan,” tegasnya.
Dia mengibaratkan identitas keindonesiaan sebagai kemudi untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Identitas keindonesiaan seperti gotong royong, ramah dan gemar menolong serta cinta budaya bangsa.
"Mau dibawa kemana kita tanpa kemudi, bisa bablas seperti munculnya prostitusi online, penyalahgunaan narkotika dan lainnya," ujar mantan mahasiswa terbaik Universitas Indonesia (UI) tahun 90an ini.
Kondisi Indonesia, lanjutnya, jauh berbeda dengan bangsa Eropa yang kesemuanya berdasarkan kontrak sosial, kontrak politik dan penuh hitung-hitungan yangg sifatnya kontraktual dan diikat dengan hukum.
“Jadi kalau ditanya tempat kebudayaan dimana sih, ya disini, di hulunya pembangunan,” ujarnya.
Bagian hulu pembangunan yang dimaksudnya yakni pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini hingga anak-anak. Sebuah sistem pendidikan yang ditanamkan lewat tindakan-tindakan kecil yang dilakukan sehari-hari dan menjadi kebiasaan, seperti membersihkan sekolah, merapikan sepatu sendiri dan lainnya. Selain itu, kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat juga harus terus dipertahankan.
"Kalau Revolusi Industri 4.0 itu 'gaspol', kearifan lokal jadi remnya. Jadi dia tahu persis bagaimana mengendalikan kendaraan yang lari cepat agar bisa sesuai dengan tujuan kita," katanya.
Bagi penulis Kisah Tiga Patung tersebut, kemajuan teknologi dengan beragam informasi yang masuk ke segala batasan umur tidak lagi bisa dicegah, bahkan sudah bukan zamannya melakukan penyensoran atau pemblokiran.
“Modernisasi membawa banyak perubahan, begitu juga cara pandang dan pendekatannya. Ada jutaan video baik gratisan maupun berbayar, bagaimana cara memonitornya? Apa cukup sumber daya manusianya? Apa dengan memberikan kewenangan kepada orang lain lantas anak-anak tidak menonton film porno? Bagaimana cara mengkomunikasinya dengan anak-anak millennial? Semua jawaban itu kuncinya pendidikan kebudayaan,” paparnya.
Pendidikan kebudayaan pun, lanjutnya, tidak bisa lagi satu arah karena sudah dianggap ketinggalan zaman. Caranya dengan membuat video kebudayaan yang komunikatif dan menarik tentang budaya dan warisannya, sehingga anak-anak muda lebih mengenal akan sejarah budayanya.
“Anak-anak kita lebih kenal sinetron Korea daripada film Indonesia. Kita lebih hafal pemain sinetron Turki dari pada pendekar masa lalu, bahkan lebih hafal Avanger daripada Gatot Kaca," ujar Hilmar yang dari disertasi doktornya dicetak menjadi buku berjudul “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”.
Menurut Hilmar, yang seharusnya diubah dalam keadaan tersebut ialah pola penyaringannya. Bukan kepada objek, melainkan kepada subjek individu dengan memperbanyak literasi-literasi kebudayaan.
"Upaya ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tapi tanggung jawab kita semua," tandasnya.
Ketertarikan Himar pada masalah budaya, membawa pria kelahiran Bonn, Jerman Barat, pada 1968, tak jauh-jauh dari masalah kebudayaan yang disebutnya, “Tak sekedar urusan dekorasi dan baju adat”.
Persentuhannya dengan kebudayaan membawa Hilmar terbang dari satu simposium ke simposium lain, baik di dalam maupun luar negeri sebagai pembicara. Mulai dari National Tsing Hua University (Hsinchu, Taiwan), Shanghai University, China Academy of Art (Hangzhou), Sungkonghoe University (Seoul), University of the Philippines, Ateneo de Manila University, Australia National University, Leiden University, University of Amsterdam, Centre for the Study of Culture and Society (Bangalore), University of California, Los Angeles hingga University of California, Barkeley.
Membawa Hilmar dalam sebuah metamorfosis dari seorang aktivis, pengajar, sejarahwan - lulusan Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1993 dan gelar doktor di bidang kajian budaya di National University of Singapore pada Mei 2014 – dan menjadi birokrat sejak dilantik sebagai Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 31 Desember 2015.
Keberadaan Direktorat Jenderal Kebudayaan yang dipimpinnya semakin sentral dengan lahirnya UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. “Paradigmanya berubah,” ujarnya sambil menyebut bila dulu fokus Dirjen Kebudayaan pada pelestarian, kini menjadi kemajuan budaya.
Keberadaan UU No. 5 tahun 2017 menjadi selaras dengan UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
“Jadi konsep maju itu kita ambil dari sana bahwa kebudayaan bukan sekedar dekorasi, bukan sekedar sektor tapi dia justru menghela, kereta itu yang ditarik bukan menarik. Pembangunan negara ini ditarik oleh kebudayaan,” paparnya.
Sebagai penghela, kebudayaan harus memiliki tata kelola yang bisa menyinergikan pemangku kepentingan, yakni antar kementerian, lembaga hingga komunitas-komunitas untuk duduk bersama dan saling terkoneksi satu sama lain. Hasil akhirnya ialah membentuk budaya masyarakat yang mandiri.
“Harapannya kedepan masalah kebudayaan bukan lagi tergantung selera gubernur, walikota, atau bupati karena pertumbuhannya jadi sangat lambat. Dengan UU No. 5 para pemangku kepentingan harus ngerti dulu, apa saja yang harus diurus? arahnya ke mana? Mau mencapai apa? Sehingga peran yang mau dimainkan dari masing-masing unsur baik pusat maupun daerah juga lebih jelas,” paparnya.
Bila para pemangku kepentingan sudah saling bersinergi, lanjutnya, daerah-daerah akan melakukan pencatatan dan identifikasi kekayaan sehingga strateginya mulai tergambar berupa informasi data yang konkret mengenai kekayaan budaya dari 328 kabupaten dan kota.
“Bagi saya budaya adalah mahkotanya, kalau mahkotanya hilang ya hancur. Kalau Sumber Daya Alam (SDA) bisa habis tapi kebudayaan tidak bisa habis. Makin digali makin banyak,” pungkasnya. (TN)