TRUSTNEWS.ID,. - Seperti diketahui bersama Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan luasan tutupan lahan kelapa sawit sebesar 16,38 juta hektar dan produksi 46,8 juta ton CPO.
Peran industri kelapa sawit terhadap perekonomian nasional hingga saat ini belum tergantikan. Hal ini dapat terlihat dari berbagai aspek di antaranya industri sawit sudah menyerap sedikitnya 16 juta tenaga kerja. Selain itu, industri kelapa sawit juga menciptakan kemandirian energi menggantikan bahan bakar fosil melalui biodiesel (program B20 dan B30 sebesar 9,3 juta ton pada tahun 2020) dan listrik dari 879 PKS sebesar 1.829 MW. Industri sawit masih tetap menjadi andalan kinerja neraca perdagangan nasional.
Sekalipun demikian, industri kelapa sawit tidak terlepas dari tantangan yang menjeratnya. Saat ini Indonesia sedang mengalami stagnasi (tidak mengalami perkembangan) dalam peningkatan produksi dan trend turun pada peningkatan produktivitas. Peningkatan produksi yang lalu lebih didominasi oleh perkembangan luas areal. Dengan terus meningkatkan konsumsi dalam negeri untuk pangan dan biodiesel, maka Indonesia harus meningkatkan produktivitas (antara lain melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) ) serta mempertimbangkan perluasan areal perkebunan kelapa sawit.
Pemberlakuan UU Uni Eropa tentang Deforestasi (EU-DR) dengan penghentian penggunaan minyak di Uni Eropa (EU) berdampak pada peningkatan konsumsi oil seed di UE dan penurunan produksi dan ekspor produk pangan (umbi, sereal, gandum) ke dunia.
Bagi industri sawit Indonesia, pasar yang ditinggalkan oleh seed oil akan menjadi peluang bagi minyak sawit di pasar dunia. “Maka dari itu Indonesia perlu terus mempertahankan pasar tradisional, disamping tetap mencari peluang pasar baru, terutama di Afrika dan Timur Tengah, jelas Eddy Martono Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) kepada Trustnews dalam keterangan tertulisnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut saat ini seluruh pelaku industri sawit di Indonesia bahu membahu dengan berpedoman pada sistem Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO merupakan pedoman untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan. Jika perusahaan sudah memiliki Sertifikat ISPO, berarti perusahaan kelapa sawit ini sudah mematuhi peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan juga sebagai bukti bahwa perusahaan sudah menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.
Sebelum terbitnya pengaturan ISPO, pengaturan terkait sustainability tersebar di berbagai Kementerian, seperti perijinan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementan. Status lahan di ATR dan LHK, Pedoman teknis Budidaya di Kementerian Pertanian (Kementan), Amdal di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Penanggulangan Kebakaran di KLHK dan Kementan dan lain-lain.
Dengan sistem sertifikasi ISPO, semua pengaturan terkait kelapa sawit terangkum menjadi satu, sehingga pemenuhan terhadap regulasi dan pengawasan yang terkait dengan kelapa sawit berkelanjutan oleh pemerintah menjadi lebih mudah. “Jadi untuk membangun industri sawit berkelanjutan, kita harus mendorong implementasi ISPO di perkebunan,” tambahnya.
Diakui Eddy Martono, agar petani dan perusahaan perkebunan bergairah, keberterimaan ISPO di pasar internasional sangat menentukan. Maka dari itu, keberterimaan ISPO menjadi syarat perlu bagi pembangunan industri sawit yang berkelanjutan.
Namun demikian usaha ini mendapat tantangan dari negara pembeli yang memaksa menggunakan standar yang mereka tentukan. Celakanya standar ini berubah-ubah karena dimanfaatkan sebagai teknikal barrier dalam perdagangan.
Untuk itu GAPKI terus bersosialisasi dan mengedepankan Klinik ISPO kepada anggotanya dan bersama-sama dengan pemerintah melakukan sosialisasi ke berbagai negara pengimpor sawit, agar sistem sertifikasi dapat diterima dengan baik.
Meskipun berlabelkan ‘pengusaha,’ hakekatnya anggota GAPKI adalah pekebun sehingga berbagai hal yang diperjuangkan GAPKI akan juga berdampak positif pada Foto Fortune Indonesia. petani pekebun yang bukan anggota GAPKI.
GAPKI memperjuangkan industri sawit nasional sebagai sumber kesejahteraan bagi bangsa dan negara. GAPKI menyadari besarnya ketergantungan negara dan rakyat terhadap industri minyak sawit dan perusahaan besar menjadi ujung tombak bagi perkembangan industri minyak sawit. Hal itu dikarenakan Produksi TBS yang dihasilkan baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat bermuara di Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar.
Sebagian dari perkebunan rakyat bermitra dengan perkebunan besar dan Perkebunan kelapa sawit. Kegiatan ekspor dilakukan oleh perusahaan besar. Bahan baku untuk berbagai industri strategis seperti minyak goreng dan biodiesel dipasok dari PKS milik perusahaan besar. Banyaknya jumlah masyarakat yang tergantung hidupnya pada industri kelapa sawit.
“Oleh sebab itu GAPKI merasa yakin bahwa memperjuangkan kepentingan pengusaha sawit adalah sama dengan memperjuangkan kepentingan industri sawit nasional,” terang Eddy Martono.
Menurutnya, prospek sawit ke depan masih menjanjikan, baik untuk pasar dalam negeri (minyak makan, oleokimia dan biodiesel) maupun pasar Luar negeri. Untuk itu, seluruh stake holder kelapa sawit perlu berkonsolidasi untuk memajukan industri minyak sawit. Harus diingat, industri minyak sawit adalah penghasil devisa dan penerimaan pemerintah yang besar dari pajak, pungutan dan retribusi. Pemerintah harus menjaga agar industri terus tumbuh dan berkembang.
Di sisi lain, peran minyak sawit cukup besar terhadap inflasi karena penggunaan minyak sawit digunakan untuk berbagai industri khususnya bahan pangan dalam negeri. Dengan terus meningkatnya penggunaan dalam negeri, khususnya untuk ketersediaan minyak goreng dan biodiesel, perlu diformulasikan kebijakan yang menjamin ketersediaan dalam negeri tanpa terlalu mengganggu pasar ekspor.