Saat negara-negara di Asia Tenggara mengambil keuntungan dengan adanya perang dagang, Indonesia justru tidak menarik di mata investor akibat maraknya informasi yang tidak benar.
Dua gajah bertarung, pelanduk (kancil) boleh dong ambil untung. Sebuah plesetan peribahasa aslinya, sebab belum tentu “dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah”. Dalam kasus perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, secara tidak langsung memberikan berkah di negara-negara di wilayah Asia Tenggara, Indonesia satu diantaranya.
“Gambaran sederhanya Amerika dan Cina tengah berperang dagang, otomatis produk-produk Amerika akan di tolak masuk ke Cina, begitu juga sebaliknya. Kita bujuk keduanya untuk membangun pabriknya di Indonesia dan barangnya bisa dijual di kedua negara tersebut, karena tidak berasal dari Amerika atau Cina sekaligus menghindari tarif impor,” papar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara dalam bincang-bincang dengan TrustNews di akhir Mei lalu.
Untuk bisa mengambil keuntungan tersebut, Ngakan mengatakan, diperlukan adanya peningkatan daya saing industri manufaktur nasional. Ini ditujukan agar Indonesia bisa lebih kompetitif dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia.
“Kita harus menyiapkan diri jangan sampai produk mereka yang membanjiri pasar domestik kita. Indonesia masih memiliki daya tarik untuk investasi dan relatif stabil,” ujarnya.
Hanya saja, menurut Ngakan, dalam upaya menarik investor dari kedua negara yang sedang bertarung tersebut, ada suara-suara yang mengatakan bahwa produk ekspor dalam negeri tidak bergerak tanpa menggunakan data dan disebarluaskan lagi oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ekonomi sehingga membentuk opini negatif di masyarakat.
“Kita ambil data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada April 2019, ekspor produk manufaktur mencapai USD9,42 miliar atau menyumbang 74,77% dari total ekspor Indonesia. Nilai ekspor komoditas nonmigas seperti karet, bubur kayu, alas kaki, pupuk dan berbagai produk kimia juga naik,” tegasnya.
Kenaikan tersebut, menurutnya, bisa dibaca bahwa industri Indonesia sudah mulai bergeser dalam melakukan transformasi ekonomi secara struktural. Misalnya, hilirisasi produk sudah mulai berjalan, sawit sudah mulai berjalan, logam dasar mulai berjalan bahkan di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, sudah menghasilkan tekstil.
“Melihat fakta tersebut artinya industri dalam negeri sudah bergerak. Kemudian muncul pertanyaan baru, kontribusinya dari industri semakin kecil, makanya pertumbuhan negatif, tenaga kerja yang di PHK karena pabrik-pabrik tutup kan itu yang sering disebarluaskan. Kenyataannya, industri kita tumbuh sekitar 4,47 % walaupun sedikit di bawah ekonomi. Ini menandakan tidak ada pengurangan dan tidak ada deindustrialisasi.
Kalau dulu jaman krisis ekonomi kan turun negatif nilainya, Itu baru deindustrialisasi,” ujarnya.
Begitupun di sektor tenaga kerja yang terjadi peningkatan dari 14,5 juta orang pada tahun 2015 menjadi 17,5 juta orang di tahun 2018. Setiap pertumbuhan 1% akan menyerap 400ribu-500ribu orang, sedangkan tiap tahun tercatat 1,6 juta-2 juta orang yang masuk ke pasar tenaga kerja. Untuk menyerap jumlah tersebut dibutuhkan angka pertumbuhan sebesar 5%, kecuali angka pertumbuhannya tidak tercapai.
Untuk meningkatkan angka pertumbuhan, membutuhkan sejumlah syarat. Pertama, ekonomi yang kondusif. Kedua, adanya investasi. Ketiga, tenaga kerja yang terampil. Bila ketiga syarat ini terpenuhi, maka akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang menyerap tenaga kerja.
“Timbul pertanyaan baru, kalau tidak terserap bagaimana? Disitulah pentingnya industri yang hampir 20% menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan ini yang harus kita jaga, karena bila PDB tidak tumbuh konsekuensinya angka pengangguran. Kita terus berupaya menjaga pertumbuhan PDB, apalagi 2030 menjadi puncak bonus demografi. Ini mesti dipersiapkan dari sekarang agar tidak menjadi beban negara dikemudian hari dengan banyaknya pengangguran,” paparnya.
Bagi Ngakan, pelurusan informasi menjadi sangat penting agar tercipta pemahaman yang benar akan kondisi ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Dia hanya tidak ingin sekecil apapun peluang yang ada di depan mata yang tercipta dari efek perang dagang Amerika dan Cina, justru dinikmati negara-negara tetangga. Hanya karena di dalam negeri malah tersiar informasi-informasi terkait dengan ekonomi yang tidak benar tanpa data yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Kita luruskan opini-opini yang berkembang supaya masyarakat tahu apa yang dikerjakan pemerintah itu progresnya sampai mana. Ada kekurangan, pasti ada kekurangan di sana sini, karena tidak ada negara yang sempurna. Skandinavia yang dibilang negara yang sangat maju teknologi dan ekonomi rakyatnya, pemerintahnya pun masih ada kurangnya,” pungkasnya. (TN)