Perum Bulog berkembang tak hanya sekedar menjaga stabilitas harga pangan, tapi juga menggandeng sejumlah akademisi untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktifitasnya.
Bagai berjalan di atas seutas tali merentang di antara dua tebing. Para penggiat sackline tak sedang berakrobatik atau uji adrenalin. Keseimbangan dan kekuatan telapak kaki menjadi modal penting saat berjalan melintasi seutas tali yang terbentang panjang menyeberangi bukit.
Tak ubahnya sackline, begitulah Direktur Keuangan Perusahaan Umum (Perum) Bulog, Triyana, menggambarkan posisi Bulog sebagai penyangga pangan nasional. “Kita berusaha menyenangkan semua pihak,” ujarnya kepada TrustNews.
Kata menyenangkan yang dimaksudnya itu, harga-harga sembilan bahan pokok (Sembako) bisa dijangkau konsumen, tapi tidak merugikan dari sisi produsen.
“Tugas pokok Bulog menjaga kestabilan harga, jangan sampai konsumennya tertawa tapi petani atau peternaknya menangis. Sebaliknya petani dan peternaknya tersenyum, tapi konsumennya marah-marah. Kita ingin baik konsumen maupun produsen bisa tersenyum bersama,” paparnya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyangga “perut rakyat" itulah, lanjut Triyana, Bulog melakukan stabilisasi harga dari hulu hingga ke hilir. Di sisi hulu, Bulog menyerap hasil produksi petani dalam negeri di seluruh pelosok Indonesia dan bekerjasama dengan TNI dalam gerakan Serap Gabah Petani (Sergap).
Sedangkan sisi hilir, lanjutnya, Bulog melakukan pemeratan stok pangan ke seluruh pelosok Indonesia dan stabilisasi harga pangan melalui operasi pasar yang dilakukan sepanjang waktu. Selain itu, Bulog juga menyalurkan bantuan sosial Rastra, penyaluran bantuan pangan untuk korban bencana alam, pasokan program BPNT (Bantuan Pangan Non-Tunai), serta menjual komoditas pangan pokok murah berkualitas melalui berbagai saluran komersial Bulog.
“Dalam menjalankan tugasnya itulah Bulog kerap tidak sesuai Rencana dan Kerja Anggaran Perusahaan Perum Bulog (RKAP). Saat harga gabah jatuh di tingkat petani, Bulog langsung mengadakan pembelian besar-besaran yang nilainya mencapai triliunan,” ujarnya.
Pun saat harga gula jatuh di Mei 2018 lalu, pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk membeli gula dari petani senilai Rp 9.700 per Kilogram (Kg). Penetapan harga gula sebesar Rp 9.700 per kg ini dengan dua pertimbangan. Pertama, menaikkan harga pembelian gula. Kedua, pertimbangan keuntungan bagi petani.
“Bulog bukan berorientasi pada keuntungan, contoh tahun lalu harga gula dalam negeri jatuh di Rp8.000, petani tebu nangis. Kita diinstruksikan beli gula petani tebu dengan harga Rp9.700 ini membuat keuangan kita tidak sesuai RKAP,” paparnya.
Triyana menerangkan, beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia memiliki andil sebesar 0.130% terhadap inflasi di tahun 2018. Posisi Bulog, menstabilkan harga pangan pokok di antaranya, beras umum selama tahun 2018 ada di kisaran Rp.11.606/kg, gula pasir Rp.13.676/kg, dan daging sapi Rp.114.195/kg, serta jagung Rp.7.316/kg
Selain itu, diterangkannya, dalam rangka menjalankan penugasan pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), sepanjang tahun 2018 Perum Bulog telah melakukan pengadaan sebanyak 3,2 juta ton setara beras dan stok beras CBP di akhir tahun 2018 sebanyak 2,1 juta ton setara beras (merupakan CBP terbesar yang pernah dikelola Bulog dalam lima tahun terakhir).
Penyaluran Bansos Rastra mencapai 1,2 juta ton, pengelolaan CBP untuk Operasi Pasar sebanyak 544 ribu ton merupakan stabilisasi harga dengan jumlah terbesar selama sepuluh tahun terakhir dan CBP bencana sebanyak 6.953 ton yang diantaranya digunakan untuk korban bencana alam di Palu Donggala (Sulawesi Tengah), dan Lombok (NTB).
“Bulog dihadirkan untuk membentengi pemerintah sebagai buffer stock beras khususnya dan pangan umumnya. Bahan pangan tinggi maupun rendah, kita harus action. Jadi Bulog ini melaksanakan tanggungjawab kepanjangan tangan pemerintah untuk menjaga kesejahteraan petani dan konsumen,” tegasnya.
Sebagai badan penyangga kedaulatan pangan, Bulog tak melulu bicara soal Public Service Obligation (PSO). Bulog juga bicara soal komersial dalam pengelolaan komoditi pangan pokok.
“Bagi kita di Bulog inilah seninya. Seni dalam mengelola dua sisi yang bertolak belakang. Seni dalam menyelaraskan antara PSO dan komersil, strategi keuangan harus pas dan mengatur chashflow juga harus pas. Tidak semata-mata bisnis yang keuangannya berkiblat pada keuangaan bisnis. Kiblatnya dua, ya bisnis ya public service,” ujarnya.
Kemampuan Bulog dalam melangkah di dua sisi, PSO dan komersial, terus diasah di sepanjang keberadaannya sejak masih berstatus Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di tahun 1967 hingga tetap eksis sampai sekarang setelah mengalami beragam dinamika.
“Bulog terus memperbaiki diri dalam menyikapi persoalan yang muncul, karena memang tidak mudah dan sesederhana yang dibayangkan,” cetusnya.
Bulog dalam menjalankan fungsinya sebagai stabilitator harga, tak hanya membeli dan melepas pangan kepasaran. Bulog juga menjalankan program On Farm untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Ini dilakukan Bulog untuk memutus mata rantai ketergatungan petani terhadap para tengkulak.
“On Farm untuk memutus hubungan emosional petani dengan tengkulak lewat sistem ijon sehingga begitu panen sudah bukan milik petani lagi hasilnya,” paparnya.
Lewat On Farm, Bulog bergandengan tangan dengan sejumlah bank, baik bank nasional maupun milik pemerintah daerah, membiayai para petani mulai dari awal hingga panen tiba.
“Bulog bersama kalangan perbankan membiayai petani, mulai dari awal produksi hingga panen ditambah biaya hidup. Bila panen otomatis masuknya ke Bulog tidak ke tengkulak,” tegasnya.
Langkah berikutnya, Bulog pun mengajak kerjasama dengan pihak perguruan tinggi untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan on farm; pemanfaatan teknologi pengolahan Iahan dan teknik budidaya yang modern, serta manajemen dan penanganan pasca panen.
“Kita berpikir mengapa harga beras dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan beras impor, setelah dilakukan penelitian terhadap komponen biaya pertanian ternyata ada tingkat produktifitas yang rendah,” ujarnya.
Triyana pun berhitung, per hektar sawah menghasilkan 5-6 ton gabah atau setara dengan Rp19 juta, sementara biaya produksi dan biaya hidup per panen Rp18 juta. Keuntungan petani hanya Rp 1 juta per panen.
“Akan berbeda bila per hektar sawah menghasilkan 10 ton gabah itu setara dengan Rp 36juta dengan biaya produksi yang sama yakni Rp18 juta, petani masih punya keuntungan Rp 18juta. Kalau begitu kita naikkan angka produktifitasnya dengan cara menggandeng para profesor dan kalangan perguruan tinggi, sehingga meski harga beras murah, petani tetap sejahtera tidak mengalami kerugian,” pungkasnya. (TN)