Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely
Kalimat tersebut meluncur deras dari Poempida Hidayatullah. Rupa-rupanya, anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan (KT) ini, tengah menyitir adigium terkenal milik John Emerich Edward Dalberg Acton atau populer Lord Acton.
Bagi Poempida, setiap proses bisnis tidak bisa dilepaskan dengan namanya risiko.
“Sudah menjadi satu kesatuan. Termasuk dalam pengambilan keputusan dan dampak dari risiko tersebut secara signifikan dapat mempengaruhi kestabilan Perseroan,” ujarnya.
Manajemen risiko, lanjutnya, semakin penting keberadaannya sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh Perseroan demi memastikan roda bisnis Perseroan terus berputar.
“Ini (manajemen risiko) itu terkait dengan budaya. Ini yang belum banyak disadari, BPJS Ketenagakerjaan sebagai lembaga penjamin kesehatan yang modern sudah mengarah ke sana,” ujarnya.
Hanya dengan manajemen risiko, menurutnya, perusahaan bisa melakukan identifikasi terhadap suatu risiko. Dari hasil identifikasi tersebut dibuat rencana mitigasi risiko dan dihitung nilai risikonya baik yang inherent (sebelum mitigasi) maupun nilai risiko residual (setelah mitigasi).
“saya selalu mengatakan apa harus menunggu kebakaran dulu, baru sibuk memadamkannya. Kalau sudah terjadi kebakaran, ya sudah gagal namanya. Budaya ini harus ditinggalkan dengan adanya manajemen risiko,” tandasnya.
Poempida yang dijuluki si bayi ajaib ini, memang terlihat kekeuh akan manajemen risiko. Dalam pandangannya, mengelola bisnis ada dua sisi, yakni risiko strategis dan risiko operasional.
“Risiko strategis di dalamnya memuat soal kebijakan yang tentunya terikat dengan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Sedangkan risiko operasional menyangkut SOP, sumber daya manusia dan teknologi informasi. Ini harus dilakukan pemantauan secara berkala terhadap terhadap pelaksanaan mitigasi profil risiko tersebut,” tegasnya.
Pemantauan secara berkala diperlukan, menurutnya, karena ada banyak risiko yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Bahkan, acapkali seorang pemimpin perusahaan harus menghadapi risiko sangat tinggi yang akan mempengaruhi kestabilan perusahaan.
“Untuk memperkecil risiko itulah, sebelum diambil sebuah keputusan didasarkan pada mitigasi risiko,” tegasnya.
Pada posisi itulah, lanjutnya, posisi Dewan Pengawas (Dewas) yang merupakan bagian dari organisasi BPJS berfungsi melakukan pengawasan internal. Ini mengacu pada UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS menjabarkan ada empat tugas Dewas.
Pertama, melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja direksi.
Kedua, melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan dana jaminan sosial (DJS) oleh direksi.
Ketiga, memberi saran, nasihat, dan pertimbangan kepada direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS.
Keempat, menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Dalam pandangannya, program jaminan sosial ditujukan bagi kesiapan peserta menghadapi risiko yang tidak terduga muncul dàn dialami oleh rakyat, khususnya, para pekerja di sektor bukan penerima upah.
Sektor ini, kata mantan anggota DPR RI ini, ke depannya harus menjadi perhatian utama dari BPJS Ketenagakerjaan guna dilindungi aktifitas bekerjanya.
"Jam kerja yang fleksibel serta jenis pekerjaan yang beragam diyakini akan bertambah banyak jumlah kepesertaannya," ujarnya
Pada saatnya pun, imbuhnya, BPJS Ketenagakerjaan harus memliki RENSTRA yang benar-benar strategis dan mampu pula mengakomodasi perubahan di era disrupsi.
Penggunaan kecerdasan artifisial akan bisa menggeser keseharian aktifitas yang dilakukan oleh manusia.
"Cakupan program jaminan sosial harus bisa melindungi kepentingan rakyat pekerja di sektor ini nantinya," kata Poempida.(TN)
Baca Juga :