Membangun industri otomotif adalah membangun industri hulu hingga hilir. Ada empat faktor yang wajib dipenuhi.
Indonesia punya sejarah panjang dalam urusan industri otomotif. Bayangkan, sejarah mencatat di tahun 1927, di bilangan Tanjung Priuk, Jakarta, pabrik perakitan mobil didirikan N.V. General Motors Java Handel Maattschappij. Namun sejarah juga mencatat, industri otomotif Indonesia, nasibnya timbul tenggelam di keluasan samudera.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia Johnny Darmawan, mengatakan, timbul tenggelamnya upaya membangun industri mobil nasional dikarenakan tidak konsisten dan berkelanjutan.
“Tahun 1970 an kita sudah membangun industri otomotif, sampai ribut antara lokal konten dan segala macamnya. Namun teralihkan dengan keberadaan kelapa sawit dan tambang yang notabene tinggal panen saja, ujarnya kepada TrustNews di ruang kerjanya di bilangan Sunter, Jakarta Utara.
Diusianya ke 67 tahun ini, Johnny tetap memancarkan gairah yang meledak setiap berbicara soal otomotif, “Tidak bim salabim. Hari ini industrinya dibangun, besok sudah jadi mobilnya”.
Membangun industri otomatif nasional, baginya, adalah membangun industri secara keseluruhan dari hulu hingga hilir, termasuk dari konsepnya.
“Kita mimpi punya mobil nasional, nggak apa-apa kok mimpi. Kita tuangkan konsepnya, kita bangun industrinya, apa dulu yang mau dibangun. Bagaimana dengan engine-nya, bagaimana lokal suplier-nya, bagaimana bahan bakunya hingga kebagian terkecilnya. Ini harus konsisten dibangun, hilirnya bagaimana lalu hulunya bagaimana,” ujar pria yang pernah dijuluki The Best Salesman In The World, atas keberhasilannya menjual 2,7 juta unit Toyota selama memimpin PT Toyota.
Upaya membangun industri otomotif nasional, lanjutnya, mulai tampak lima tahun belakangan. Pembangunan baik di sektor hulu maupun sektor hilir gencar dilakukan. Namun diingatkannya, membangun industri mobil butuh waktu yang panjang.
“Bagian hulu menghasilkan bahan baku yang sesuai dengan kebutuhan, bagian hilirnya menghasilkan produk yang berkualitas dan kompetitif yang dibutuhkan para produsen kendaraan,” ujarnya.
Johnny yang tercatat sebagai anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional ini, mencontohkan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk yang mampu memasok resin polypropylene impact copolymer.
Begitu juga PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) Aluminium Foundry Alloy paduan A365 untuk material produksi pelek.
“Tidak apa-apa membangun setahap demi setahap, asalkan jelas kemana arahnya. Pemerintah berupaya memperdalam struktur industri nasional agar rantai nilai dari sektor hulu sampai hilir semakin kuat sehingga dapat mengurangi ketergantungan bahan baku impor,” ujarnya.
Jhonny menambahkan ada empat faktor yang perlu dipertajam oleh pemerintah dalam membangun industri otomotif nasional. Pertama, mengenai peraturan dan insentif yang diberikan.
“Kita bisa mencontoh Thailand yang mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam upaya mendorong daya saing industri kendaraan. Misalnya, kebijakan insentif pengurangan bea masuk impor barang modal dan komponen, dukungan pada kegiatan riset dan pengembangan dengan memberikan insentif pajak penghasilan minimal tiga tahun dan insentif perpajakan berdasarkan lokasi pabrik,” paparnya.
Kedua, dorongan pada kemajuan teknologi untuk memperkecil jarak antara perkembangan industri kendaraan, komponen, dan bahan baku. Ketiga, peningkatan sumber daya manusia lewat sekolah vokasi yang mutlak terus digencarkan. Dan, keempat, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) lebih dari 70 persen.
“Kalau sudah bicara TKDN artinya komponen tersebut sudah bisa dihasilkan di dalam negeri, pintu impor harus ditutup,” tegasnya.
keempat faktor tersebut, menurutnya, harus dijalankan secara konsekuen. Tidak saja oleh pemerintah, tapi juga oleh para pelaku industri.
“Semua yang menghambat harus dikoreksi. Bukan hanya pengusaha, presiden pun mengeluhkannya. Akhirnya presiden mengeluarkan Omnimbus Law, undang-undang sapu jagat untuk mengoreksi atau menggantikan 82 undang-undang mengganti lebih dari 1200 pasal,” pungkasnya.(TN)