
TRUSTNEWS.ID - Industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) tengah menghadapi tantangan besar seiring dengan terbitnya POJK Nomor 7 Tahun 2024 yang mewajibkan merger bagi BPR dengan kepemilikan tunggal.
BPR siap untuk melaksanakan regulasi tersebut karena pemerintah memandang perlu pengembangan dan kesuksesan BPR dalam menjalankan fungsi intermediasi Dana masyarakat dan untuk pengembangan UMKM.
BPR akan membuat strategi-strategi terbaru dalam pengembangannya diseluruh Tanah Air, salah satunya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelayanan yang semakin bagus dan menarik serta memperhatikan setiap kebutuhan semua stakeholder terhadap BPR Henry Palthy, Ketua DPD Perbarindo DKI Jaya sekaligus Direktur BPR Sukma Kemang, menyoroti berbagai tantangan yang muncul akibat kebijakan ini serta dampaknya terhadap ekosistem perbankan mikro dan sektor UMKM.
"Saya setuju dengan merger jika salah satu BPR dalam kondisi tidak sehat, karena tujuannya adalah memperbaiki kinerja. Namun, bagaimana dengan BPR yang sudah sehat? Mengapa harus dipaksa merger jika tidak ada urgensi?" ujar Henry kepada Trustnews.
Menurutnya, ada beberapa masalah utama dalam implementasi kebijakan ini, mulai dari pengurangan tenaga kerja akibat merger, risiko penarikan dana deposan, hingga perubahan segmentasi pasar yang dapat mengabaikan nasabah kecil.
Henry mengungkapkan, kebijakan merger membawa dampak besar bagi BPR, terutama dalam tiga aspek utama: Pertama Dampak terhadap pejabat eksekutifnya. Jika sepuluh BPR digabung, jumlah direksi dan komisaris yang sebelumnya bisa mencapai 20-30 orang harus dikurangi menjadi dua atau tiga direksi dan dua atau tiga komisaris.
Selain itu, puluhan orang yang sebelumnya memegang posisi strategis harus mencari pekerjaan baru, menciptakan pekerja profesional atau tenaga kerja eks-eksekutif yang tidak memiliki tempat di industri ini.
Kedua, dampak terhadap LPS. Dalam hal ini menurut Henry, LPS hanya menjamin dana hingga Rp2 miliar per bank. Jika empat BPR bergabung, deposan yang sebelumnya menyimpan dana Rp2 miliar di masingmasing BPR bisa kehilangan jaminan atas dana mereka.
Di sisi lain, potensi rush withdrawal, di mana nasabah menarik dana besar-besaran karena takut tidak terjamin setelah merger, berisiko mengguncang stabilitas keuangan BPR.
Ketiga, dampak terhadap segmen Pasar. Maksudnya, BPR yang merger otomatis naik kelas, mengubah pola kredit dari pinjaman kecil (Rp50 juta ke bawah) menjadi segmen yang lebih tinggi (di atas Rp300 juta).
Di samping itu, nasabah kecil yang sebelumnya mengandalkan BPR bisa kehilangan akses, dan tanpa pilihan lain, mereka bisa beralih ke pinjaman online (pinjol) atau rentenir.
"Siapa yang nanti akan melayani mereka? Apakah nasabah kecil harus bergantung pada pinjol atau koperasi yang belum tentu memiliki regulasi ketat seperti BPR? Ini menjadi
persoalan serius yang harus diperhatikan," tegas Henry.
Henry juga mengkritisi kurangnya literasi keuangan di masyarakat tentang peran BPR. Diakuinya, masyarakat masih menganggap BPR berbeda dengan bank umum, padahal BPR juga merupakan bagian dari industri perbankan yang diawasi oleh OJK. Tidak berhenti hanya disitu, publikasi lebih banyak berisi berita negatif tentang BPR yang bermasalah, sementara keunggulan BPR, seperti kemudahan akses kredit bagi UMKM, jarang disorot. Bahkan, sesama pelaku industri keuangan pun masih kurang memahami BPR.
"Saya pernah datang ke bank umum dan mengatakan saya dari BPR, mereka bingung. Padahal kita satu industri perbankan. Jika industri keuangan saja tidak tahu BPR, bagaimana dengan masyarakat luas?," ujarnya.
Henry juga menyoroti kondisi ekonomi saat ini yang semakin sulit, di mana banyak masyarakat kelas bawah mengalami penurunan daya beli.Inflasi yang rendah (0,7%) tidak selalu berarti ekonomi baik, justru menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat.
Apalagi, banyak nasabah kecil yang sebelumnya bisa membayar angsuran dan masih punya sisa uang untuk kebutuhan lain, kini kesulitan bahkan untuk mencicil kreditnya.
Dan yang tidak bisa dielakkan, fenomena pinjaman online semakin marak, menyebabkan banyak masyarakat terjebak dalam utang dengan bunga tinggi.
BPR seharusnya menjadi second chance bagi masyarakat, bukan pinjol. Tapi kalau segmentasi BPR berubah karena merger, siapa yang akan membantu mereka? “BPR selalu siap bersinergi dengan pemerintah, khususnya dengan pihak OJK,” pungkasnya. (TN)