trustnews.id

Korupsi Bandara Lasondre, Anang Hanggoro Pertanyakan Status Hukum Kusuma Hadi Iswanto
Ilustrasi bandara lasondre

Trust News. id,  Medan - Anang Hanggoro (54) selaku Direktur II PT Mitra Agung Indonesia mempertanyakan status hukum Kusuma Hadi Iswanto terkait pengerjaan proyek peningkatan Bandara Lasondre, Kecamatan Pulau-Pulau Batu, Kabupaten Nias Selatan yang diduga merugikan keuangan negara Rp14,75 miliar dari total nilai proyek Rp26,9 miliar pada tahun 2016.

Pasalnya, Kusuma Hadi Iswanto memiliki peran penting sebagai pihak pelaksana yang dikuasakan Anang Hanggoro selaku Direktur PT. Mitra Agung Indonesia dalam proyek tersebut dengan nilai kontrak sebesar Rp 26.900.900.000 yang bersumber dari APBN Kemenhub Tahun 2016 Unit Penyelenggara Bandara Lasondre.

Hal itu disampaikan Anang Hanggoro melalui kuasa hukumnya Dedi Susanto SH kepada awak media Senin, (10/08/2020).

Dikatakannya, Kusuma Hadi Iswanto selaku rekanan perusahaan dalam proyek Bandara Lasondre tersebut dilansir dengan saat ini belum juga ditahan dan diadili oleh pihak Kejatisu yang menangani kasus tersebut.

"Berkenaan dengan status hukum Kusuma Hadi Iswanto, seperti yang dikatakan salah satu anggota Majelis Hakim Sri Wahyuni SH MH saat di persidangan beberapa waktu lalu bahwa sebenarnya Kusuma Hadi Iswanto lah yang berperan aktif baik di lapangan (proyek) maupun keuangan proyek," sebutnya.

Menurutnya, Kesuma Hadi Iswanto seharusnya segera ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa dan dapat diadili dalam perkara ini.

Selain itu, Kuasa Hukum Anang Hanggoro, Dedi Susanto SH menyatakan Kusuma Hadi Iswanto bersama bendaharanya ada mengalirkan dana dan mempergunakan dana dari pembayaran pekerjaan di Bandara Lasondre untuk persiapan, pengadaan material, transportasi, penghamparan sebagian.

"Perbuatan Hadi itu diduga melakukan tindak pidana, dimana ia juga melakukan pengiriman uang ke sejumlah pemangku kepentingan seperti Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Bendahara, Pengawas Internal/Koordinator Pengawas yang masing-masing telah diputus ringan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan," ungkapnya.

Diketahui dalam dakwaan Jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sumut mengatakan delapan terdakwa bersama-sama mengikuti kegiatan Pekerjaan Peningkatan PCN Runway, Taxiway, Apron dengan AC-Hotmix Bandara Lasondre.

“Dengan nilai kontrak sebesar Rp 26.900.900.000 yang bersumber dari APBN Kemenhub Tahun 2016," kata jaksa dalam dakwaannya.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim ahli Teknik Sipil dari Fakultas Teknik Universitas Bengkulu pada Tahun 2019 ditemukan bahwa volume pekerjaan yang terpasang hanya 20 persen dan tidak sesuai dengan yang dilaporkan PT Harawana Consultant yaitu sebesar 43,80 persen.

"Pencairan dana hingga termin ke 4 tidak sesuai dengan kenyataannya dan kemajuan hasil pekerjaan di Lapangan yang diterbitkan oleh Konsultan Pengawas PT Harawana Consultant sejak tanggal 20 Juni 2016, kemajuan hasil pekerjaan hanya mencapai 43,80 persen dan setelah itu kemajuan pekerjaan tidak mengalami perkembangan hingga tahun anggaran 2016 berakhir,” urai jaksa di hadapan majelis hakim yang diketuai Syafril P Batubara pada sidang beberapa waktu lalu.

Sementara itu, sebelumnya pada Bulan Desember 2016, BPK RI melakukan pemeriksaan/audit dan Uji Petik langsung di UPBU Lasondre, kelengkapan dokumen yang diperlukan sebagaimana diminta oleh BPK untuk pertanggungjawaban pencairan dana yang telah dicairkan sebelumnya dan berkas ditandatangani semua di bulan Desember 2016 bukan setiap termin pencairannya, hal ini diperkuat saksi-saksi di persidangan dan hasil audit kerugian negara menurut BPK RI adalah Rp. 9.506.144.286,92 berbeda dengan hasil audit akuntan publik.

Lalu, berdasarkan hasil audit yang diterbit oleh Pihak Akuntan Publik dan Tim Ahli per tahun 2020 yang disediakan oleh Pihak Kejatisu kerugian keuangan negara dalam Pekerjaan Peningkatan PCN Runway, Taxiway, Apron dengan AC-Hotmix termasuk marking volume 45.608 M2 pada UPBU Lasondre Kecamatan Pulau-pulau Batu, Kabupaten Nias selatan TA 2016 ditemukan sebesar Rp 14.755.476.788 dengan persentase kemajuan pekerjaan hanya mencapai 20 persen.

Sementara Progress pekerjaan yang termuat di dalam audit BPK RI adalah 43,80 persen per tahun 2016 sesuai dengan progress pekerjaan yang dibuat oleh Konsultan Pengawas, progress pekerjaan yang dibuat oleh Konsultan pengawas diperkuat juga oleh Audit Inspektorat Kemenhub RI.

"Jadi kita bingung sekarang, sudah jelas dan nyata progress pekerjaan dari audit dan uji petik BPK RI dan Inspektorat sama dengan progress pekerjaan yang dibuat Konsultan Pengawas akan tetapi JPU dan majelis hakim lebih memilih Akuntan Publik sebagai acuan untuk mengaudit kerugian negara,” ucap Anang Hanggoro melalui penasihat hukumnya.

 

 

Selain itu, ia menilai adanya suatu kesenjangan yang sangat jelas dalam tuntutan JPU begitu juga dengan putusan majelis hakim khususnya terhadap pihak-pihak yang secara langsung memiliki kewenangan berdasarkan jabatan atau kedudukannya.

 

 

"Mereka bekerja dengan berdasarkan pada sumpah jabatan adalah suatu ketimbangan yang diperbuat/diperlihatkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun majelis hakim memutus hukuman para terdakwa di atas dengan hukuman yang dapat dikatakan ringan," cetusnya.

 

Akibatnya, sambungnya, kepercayaan dan keyakinan akan rasa keadilan telah sirna seiring dengan adanya tuntutan dari JPU terhadap klien kami, pasalnya 5 terdakwa lainnya diputus ringan oleh majelis hakim dan ini sangat jauh perbedaannya.

 

"Hal ini dapat dilihat dari tuntutan JPU T. Adlina dan Hendri Sipahutar  yang menuntut Ibrahim Khairul Imam (KPA), Suharyo Hadi Syahputra (Koordinator Tim Teknis Pengawas Internal) dan Sugiharto (Bendahara) masing-masing 1,5 tahun penjara dan divonis menjadi 1 tahun penjara oleh majelis hakim.

"Sementara klien saya sendiri dituntut 9 Tahun oleh JPU dan di vonis 8 Tahun Penjara oleh Majelis Hakim sementara Kusuma Hadi Iswanto yang seharusnya juga bertanggung jawab dalam kasus ini sampai dengan detik ini belum ada tindakan dari pihak Kejatisu untuk memproses secara hukum yang berlaku," ujarnya.

 

Apalagi Konsultan Pengawas yang saya tahu persis kinerjanya dan uang yang mengalir ke Rekening Dwi Cipto Nugroho adalah murni uang yang titipkan Anang untuk Irpansyah Putra Rahman (PPK) atas permintaan Irpansyah Putra Rahman selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

 

"Karena ia (PPK) tidak mau ditransfer langsung ke rekening pribadinya sehingga saya meminta tolong mas cipto (konsultan pengawas) memberikan uang itu yang selanjutnya uang itu diberikan staff dari kantor konsultan kepada PPK di N Hotel Jakarta dan uang-uang yang lainnya  yang masuk ke rekening Dwi Cipto Nugroho adalah untuk pembayaran Jasa Pekerjaan Desain Pada pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan di UPBU Lasondre," ungkapnya lagi.

 

Akibatnya, Dwi Cipto malah dituntut oleh JPU 7 Tahun dan divonis majelis hakim 6 tahun penjara dan diminta untuk mengganti uang sebesar Rp 471 Juta.

 

"Pada faktanya bukan merupakan uang fee, biaya operasional, biaya taktis atau apapun istilahnya , padahal suatu tuntutan haruslah didasari oleh fakta-fakta dan seberapa besar kewenangan seorang terdakwa sehingga atas kewenangannya tersebut menyebabkan terjadinya kerugian negara/perekonomian negara," bebernya.