TRUSTINSPIRASI.COM, JAKARTA - EMI lahir dari sebuah gagasan besar tentang penggunaan energi yang efisien dan rasional yang popular dengan sebutan konservasi energi. Sayangnya, selama 30 tahun beroperasi, nasib EMI lebih mirip hidup segan mati tak mau.
Padahal, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70/2009 yang menegaskan, semua institusi yang mengonsumsi energi setara 6.000 ton minyak per tahun wajib melakukan konservasi energi melalui manajemen energi, dimulai dengan audit energi lalu mengimplementasikan hasil audit tersebut. Mengapa? Karena Indonesia masih sangat boros energi. Buktinya laju turunnya intensitas energi per tahun Indonesia saat ini baru mencapai 0,1% (target Pemerintah 1%) sedangkan rata-rata dunia sudah mencapai 1,8% dan China 5%. Belum lagi peringkat indeks resiko ketahanan energi kita menduduki nomor 19 dari 30 negara pengonsumsi terbesar dunia. Peraturan yang seharusnya ditegakkan oleh semua lembaga Pemerintah terkait dan badan usaha inilah yang sebenarnya menjadi dasar EMI menawarkan dan melakukan audit energi di semua institusi pengguna energi besar. Di atas kertas tentu berbeda saat di lapangan. Di atas kertas, tercatat ada sekitar 800 BUMN (termasuk cucu dan cicit). Bila 50% saja dari seluruh BUMN melakukan audit energi dan melakukan tindak lanjut rekomendasi audit bersama EMI dalam kerangka sinergi BUMN, maka akan dapat meningkatkan tingkat kompetitif BUMN dibandingkan perusahaan-perusahaan kelas dunia, yang operasional perusahaannya rata-rata sudah sangat memperhatikan efisiensi energinya secara nyata. Dan EMI sebagai BUMN dapat berjalan dengan sehat walafiat sesuai visi dan misi pembentukannya. Namun prakteknya di lapangan bagai jauh panggang dari api.
Agar tak selalu masuk dalam daftar BUMN yang merugi, pada 17 April 2017, Pemerintah menunjuk Andreas Widodo sebagai Direktur Utama, dan pada tanggal 31 Agustus 2018 Pemerintah menunjuk Redy Ferryanto sebagai Direktur Operasional dan Pengembangan Usaha dan Arif Rahman Sobri Sebagai Direktur Keuangan dan Umum untuk mewujudkan kinerja korporasi yang lebih baik.
Tak terbayangkan bagi ketiganya saat pertama kali tahu kondisi EMI yang sebenarnya. Keuangan perusahaan minus Rp15 miliar dan pembayaran gaji karyawan terlambat hingga tiga bulan.
Namanya juga anak-anak muda, melihat kondisi serba minus tersebut justru malah tertantang untuk membereskannya. Pola pikir dan pola pendekatan yang diambil pun berbeda dalam mengatasi masalah. Prinsipnya, “Daripada menunggu, lebih baik jemput bola” atau “Bila bisa sinergi, mengapa harus sendiri?”.
Di tangan tiga anak muda ini, pola pendekatan EMI pun diubah. Program Sinergi BUMN yang dijalankan oleh Kementerian BUMN yang terealisasi dengan adanya dukungan kuat dari Bapak Edwin Hidayat Abdullah (Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata), Bapak Agus Suharyono (Asisten Deputi Bidang Usaha Energi, Logistisk, Kawasan dan Pariwisata II), dan Ibu Hendrika Nora O. Sinaga (Asisten Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwiasata I) telah menjadi salah satu solusi. Caranya, EMI melakukan pendekatan dengan BUMN lain, seperti PT PGN, PT Pertamina, PT PLN, PT Pupuk Indonesia dan anak-anak perusahaannya, PT Rekayasa Industri, dan PT Kertas Kraft Aceh, melalui pembuatan studi bidang manajemen energi atau studi konservasi energi dan sumber daya alam. Setelah itu masuk ke tahap berikutnya yakni implementasi, dengan dibantu dukungan modal kerja dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
“EMI ini untuk bisa dibantu ya kita harus punya konsep, dengan konsep baru ada prospek dan bank mengucurkan dananya sebagai modal untuk EMI bekerja,” ujar Andreas yang meraih gelar doktor di bidang Ilmu Teknik Kimia setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Proses Penjemputan Belerang dari Gas Bumi Bernisbah Molar H2S/lCO2 Rendah", di Institut Teknologi Bandung (ITB) 2016 lalu.
Redy Ferryanto menyatakan bahwa dalam PP No. 70/2009 masih belum tercantum sanksi untuk perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban konservasi energi. Alih-alih menunggu penetapan ketentuan sanksi yang jelas, EMI bergerak menjemput bola dengan mendatangi BUMN-BUMN untuk melakukan kerja sama audit energi.
Hasilnya, PT Pupuk Kaltim sedang bekerja sama dengan EMI dalam upaya menurunkan rasio konsumsi gas bumi untuk Pabrik Kaltim-2 dan Kaltim-4, menjadi mendekati 30-an MMBtu/ton Ammonia. Konsumsi gas bumi di dunia sudah dapat mencapai 30 MMBtu/ton Ammonia. Untuk pabrik Kaltim-5, EMI sedang melakukan studiy dalam upaya mengetahui potensi peningkatan kapasitas produksi. Dalam rencana pengembangan Greenport dan Konservasi Air, PT Pupuk Kaltim menugaskan EMI untuk melakukan studi yang mengarah kepada program tersebut.
“Dengan konsumsi gas sebesar seperti saat ini, tentu dapat mengurangi nilai kompetitif jika tidak segera diatasi. Langkah PT Pupuk Kaltim dan EMI bersinergi di bidang efisiensi dan konservasi energi, penggunaan bahan baku gas dan konservasinya adalah langkah yang tepat dan patut diikuti oleh industri sejenis,” ujar Redy.
Rencana kerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara IV juga telah dijajaki, di mana EMI diminta untuk melakukan audit energi dan studiy kemungkinan penghematan biaya produksi serta upaya peningkatan kapasitas, mengingat pabrik-pabrik yang ada sudah berumur, sehingga memerlukan optimalisasi dan efisiensi.
Ketiganya sepakat bahwa masalah efisiensi dan konservasi energi dan sumber daya alam menjadi sangat penting ke depannya. Negara yang mampu melakukan efisiensi dan konservasi energi akan mendapat benefit yang lebih, dibandingkan negara boros energi. Sebab itulah, menurut Redy, sudah waktunya BUMN-BUMN yang berencana membangun infrastruktur energinya menggandeng EMI sedari awal, sebab hanya EMI satu-satunya BUMN yang bergerak di bidang usaha efisiensi energi dan konservasi sumber daya alam, sehingga dalam membangun kilang atau power plant, contohnya, sebaiknya sudah dihitung secara terencana mulai dari fase mendesain, membangun dan mengoperasikannya.
“Orang Jawa bilang kalau masuk di belakang nabrak-nabrak, wis kadung dadi kabeh, pie iki. Paling bagus adalah tugas dimulai dari depan pada saat dilakukan basic design dan detail design fasilitas yang akan dibangun sehingga lebih terukur dan tahu membangun power plant itu mana yang paling efisien, teknologi apa yang paling sesuai dengan kondisi bahan baku yang tersedia,” ujar Redy.
Beragam terobosan yang dilakukan pun mulai membuahkan hasil, EMI mulai bisa bernapas lega setelah lebih dari 30 tahun beroperasi. Bila di awal masuk minus atau mengalami kerugian, kini mulai menunjukkan gejala positif dengan meraih keuntungan bersih sebesar Rp2,2 miliar. Kesehatan perusahaan pun berangsur membaik meskipun dengan perolehan pendapatan perusahaan yang baru mencapai Rp20 miliar per tahun. Berita baiknya, pembayaran gaji karyawan sudah kembali lancar termasuk penyelesaian tunggakan utang dan perusahaan sudah mampu menaikkan gaji karyawannya.
“Setelah masuk EMI satu-persatu persoalan kita selesaikan, karyawan yang dulu tiga bulan tidak gajian sekarang sudah dibayarkan dan sudah tidak ada lagi cerita pembayaran gaji terlambat. Cash flow kita menjadi lebih baik dan sudah dapat menaikan gaji karyawan juga, karena kalau kita tidak naikkan tidak bisa mendapat sumber daya manusia yang lebih bagus dari sisi kompetensi dan daya tahan," ujar Andreas.
Melihat tren pertumbuhan yang positif, Arif Rahman Sobri mengharapkan pendapatan perusahaan terus mengalami kenaikan yang berasal dari sejumlah proyek yang sedang berjalan. Selain itu, perusahaan pun mulai ancang-ancang tidak saja sebagai kontraktor ESCO (Energy Services Company), tapi juga berencana untuk berinvestasi dalam produksi sumber energi terbarukan skala kecil terdesentralisasi,. seperti pengembangan teknologi bahan bakar cair dan petrokimia hijau bersama ITB, untuk mendukung peningkatan ketahanan energi nasional dan daerah.
“Kalau hanya sebagai kontraktor gerakannya terbatas, sedangkan sebagai perusahaan butuh pemasukan yang tidak fluktuatif. Nah dengan memiliki saham sebagai investor, dan dengan melakukan pengontrolan operasional anak usaha, pendapatan perusahaan tidak lagi bergantung dari banyak sedikitnya proyek yang dikerjakan,” ujar Arif.
Dalam istilah ekonomi, apa yang dimaksud Arif di atas adalah pendapatan berkelanjutan atau berkesinambungan (recurring income). Tercatat beberapa BUMN di bidang konstruksi mulai menggunakan sistem ini melalui anak perusahaan sebagai sumber pendapatan berkelanjutan.
Begitu cepatnya kondisi keuangan perusahaan membaik, tentu saja menimbulkan pertanyaan apa resepnya? Baik Andreas, Redy dan Arif menjawab kompak, “Akrobat!”
Redy menjelaskan maksud akrobat adalah memanfaatkan keahlian utama dari masing-masing petinggi EMI dengan menjadikan EMI sebagai konsultan untuk pelaksanaan proyek-proyek besar di bidang Oil & Gas, Petrokimia, Power Plant, CPO, Pupuk, Chemicals, Kertas, dan infrastruktur energi dan sumber daya alam, dengan terjun langsung sebagai tenaga aAhli pada proyek-proyek yang akan dan sedang dikerjakan EMI. Harap maklum, ketiganya mumpuni di bidang rekayasa industrial plant dan memiliki latar belakang studiy teknik kimia, sehingga tidak sulit bagi ketiganya bergerak dalam urusan efisiensi energi dan konservasi sumber daya alam.
“Selain dari proyek-proyek yang ada, kita ini orang-orang yang lama di proyek EPC, baik di domestik dan overseas, jadi kita dapat terjun langsung jadi tenaga ahli di proyek EMI,” ujar Andreas.
Memanfaatkan keahlian sebagai konsultan yang dilakukan EMI itulah yang menurut Arif memberi pemasukan untuk kas operasional EMI. Sebagai contoh di Provinsi Aceh mau ada revitalisasi, EMI bertindak sebagai konsultan dengan mempekerjakan tenaga ahli dari luar EMI., Ssekalian, agar SDM EMI dapat belajar dan memperkenalkan nama EMI agar lebih familiar.
“Kita tidak mungkin hanya menunggu EMI dapat proyek ESCO., Sselama belum ada, kita makan saja dulu yang ada sesuai dengan keahlian kita untuk membangun EMI dan peluang-peluang seperti ini yang tidak dimiliki oleh manajemen yang lama,” ujar Arif, yang memberikan bocoran bahwa dengan kemampuan perusahaan lama tempat mereka bekerja, sebagai karyawan pun mendapat fasilitas yang lebih baik seperti fasilitas perjalanan dinas, asuransi kesehatan, dan transportasi. Selain itu, di tempat yang lama, walaupun bukan sebagai Direksi, mereka bisa mendapatkan fasilitas kendaraan. Namun di EMI, saat ini jajaran Direksi masih menggunakan kendaraan pribadi untuk keperluan kantor.
“Kenapa kita mau? Ya karena EMI punya prospek sangat besar dan penting untuk masa depan bangsa. Kondisi yang dialami EMI ini yang membuat kita semangat untuk menerima tantangan memperbaiki dan membesarkannya,” ujar Andreas.
Proyek “nyambi” sebagai konsultan bagi EMI menjadi pilihan karena reputasi buruk yang dicatatkan EMI yakni selalu dalam posisi merugi. Saking jeleknya sampai timbul sentimen negatif, “Dikasih modal berapa pun akan rugi”. Untuk keluar dari kondisi seperti itulah, jajaran Ddireksi menyingsingkan lengan bajunya untuk terjun langsung di berbagai proyek dengan tujuan memperbaiki performa EMI.
“Kalau EMI mau dapat pendanaan atau mau pinjam ke mana pun nggak ada yang mau, karena syarat utamanya perusahaan harus sehat. Kita masuk, kita lakukan perbaikan dan efisiensi termasuk istilahnya kita makan apa saja yang bisa kita makan tujuannya memperbaiki kinerja EMI agar dipercaya oleh pihak luar,” ujar Andreas.
Perlahan tapi pasti wajah muram EMI akan menjadi kinclong. Kerja keras yang ditunjukkan jajaran Direksi dengan terus melakukan pembenahan di semua lini termasuk membangun kembali kepercayaan para pemangku kepentingan pun mulai menuai hasil. Sejumlah kerja sama sinergi dengan sejumlah BUMN pun terjalin, antara lain dengan BUMN Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata; kerja sama sinergi dengan PT Kertas Kraft Aceh; kerja sama sinergi dengan PT Pupuk Kaltim.
Bila langkah pertama sudah dilakukan, tinggal langkah kedua bagaimana kita bisa lebih memastikan agar perusahaan-perusahaan mau melakukan manajemen energinya sebagaimana yang tertuang dalam peraturan Pemerintah.
“Peraturan Pemerintah yang mengatur sudah ada namun di lapangan belum diimplementasikan dengan baik sebagai suatu kebutuhan, kalau dinilai memberikan keuntungan maka tanpa dimintapun (diatur Pemerintah) perusahaan akan melakukannya. Oleh karena itu diperlukan adanya contoh-contoh proyek implementasi program efisiensi energi yang konkret di skala industri. Di sinilah peran BUMN-BUMN dalam bentuk sinergi sebagai agen pembangunan sangat diperlukan,” papar Andreas.