Badan Geologi tak hanya mengurusi dan memetakan wilayah rawan bencana. Mereka juga menyediakan air bersih bagi wilayah-wilayah sulit air bersih di seluruh Indonesia.
Penjaga cincin api, begitulah Rudy Suhendar dijuluki sejak dilantik sebagai Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral pada Desember 2017 lalu. Julukan tersebut diberikan karena tugasnya menjaga Indonesia dari marabahaya akibat letusan gunung berapi, gempa bumi dan amukan tsunami yang bisa muncul kapan saja.
Indonesia, katanya, memiliki 127 gunung berapi aktif. Dari jumlah tersebut ada 70 gunung yang dipantau selama 24 jam, dua diantaranya Gunung Merapi dan Anak Gunung Krakatau. Setiap gunung yang masuk dalam pantauan dijaga oleh 4-5 personil secara bergantian selama 24 jam penuh dalam pos pengamatan.
“Kami ada 200 pemantau kerja 24 jam di 70 gunung berstatus aktif, termasuk Merapi dan Anak Krakatau,” ujar Rudy dalam diskusi kecil dengan Trust News di ruang kerjanya.
Pos-pos pengamatan yang didirikan tadi, lanjutnya, tidak semata hanya berfungsi sebagai pos pengamatan saja, tapi juga menjadi tempat rujukan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi. Tidak hanya itu, selain melakukan pemantauan, para petugas juga menjadi penyuluh dalam mensosialisasikan mitigasi bencana gunung api dan gempa bumi kepada masyarakat.
“Masyarakat khususnya yang hidupnya di lokasi rawan bencana alam wajib tahu tindakan apa yang dilakukan bila bencana itu terjadi sehingga meminimalisir jatuhnya korban jiwa,” ujarnya.
Mitigasi menjadi penting karena posisi Indonesia yang berada dalam Cincin Api Pasifik atau dikenal dengan sebutan Ring of Fire untuk merujuk pada wilayah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan pasifik.
Adapun sumber gempa bumi di Indonesia, berasal dari zona subduksi dan sesar aktif di darat. Zona subduksi membentang di sebelah barat Pulau Sumatera, selatan Pulau Jawa, selatan Bali dan Nusa Tenggara, dan membelok di Kepulauan Maluku yang membentuk palung laut. Zona subduksi juga sebagai sumber pembangkit tsunami.
Sesar aktif di darat tersebut antara lain Sesar Besar Sumatera yang memanjang dari utara sampai selatan di Pulau Sumatera. Sementara di Pulau Jawa terdapat Sesar Cimandiri, Sesar Lembang, Sesar Baribis dan Sesar Opak.
Selain itu terdapat Sesar Belakang Busur Flores di utara Kepulauan Nusa Tenggara, Sesar Palu-Koro di Sulawesi Tengah, Sesar Tairura-Aiduna dan Sesar Sorong.
“Sampai saat ini gempa bumi belum bisa diprediksi kapan akan terjadi, di mana dan berapa besar magnitudonya, namun yang dapat diprediksi adalah potensi maksimum magnitudo dan dampak intensitasnya," ungkapnya.
Badan Geologi, lanjut Rudi, senantiasa melakukan upaya mitigasi bencana dengan memetakan daerah yang pernah mengalami bencana. Setelah itu disajikan dalam bentuk peta kawasan rawan bencana gunung api, peta kawasan rawan bencana gempa bumi dan peta kawasan rawan bencana tsunami.
Peta-peta itu kemudian disampaikan ke seluruh pemerintah provinsi, pemerintah kota dan pemerintah kabupaten melalui sosialisasi kepada masyarakat dengan menggunakan pola estafet. Sosialisasi mitigasi bencana juga menggunakan media massa untuk mempercepat dan memperluas penyebaran informasinya.
Selain itu, dalam kondisi tertentu seperti saat musim penghujan antara September hingga Oktober, Badan Geologi juga mengeluarkan peta prakiraan gerakan tanah dan menginformasikannya ke pemerintah daerah yang wilayahnya masuk kategori rawan agar mereka waspada dan siaga. Di luar itu tanpa disadari kekeringan kerap luput disebut sebagai bencana alam, untuk itulah Badan Geologi melaksanakan program pelayanan air bersih di daerah-daerah kesulitan air di seluruh Indonesia.
Mengatasi masalah kekeringan ini, tercatat sejak tahun 2005 hingga 2017, Badan Geologi telah menyediakan 1.782 unit sumur bor tersebar di 312 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Secara keseluruhan kapasitas produksi dari seluruh sumur tersebut adalah sekitar 100 juta m3 per tahun untuk melayani 5 juta jiwa.
Selain memberikan bantuan sarana air bersih, Rudy menjelaskan, Badan Geologi juga menerbitkan Peta Zona Konservasi Air Tanah yang menunjukkan tingkat kerusakan air tanah baik secara kualitas maupun kuantitas. Peta tersebut disusun berdasarkan Cekungan Air Tanah (CAT) yang sudah ditetapkan oleh Menteri ESDM melalui Permen ESDM Nomor 2 tahun 2017.
Beberapa CAT, terutama yang berada di kota besar sudah menunjukkan tingkat kerusakan yang cukup berarti. Misalnya, CAT Jakarta, CAT Serang-Tangerang (Kota Tangerang dan sekitarnya) CAT Bandung-Soreang (Kota Bandung dan sekitarnya), dan CAT Denpasar-Tabanan (Kota Denpasar dan sekitarnya). Selain tingkat kerusakan kondisi air tanah yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penggunaan air tanah, kondisi ini juga dapat memicu peningkatan laju penurunan tanah (land subsidence) dan semakin jauhnya penyusupan (intrusi) air laut (asin) ke daratan.
"Instrumen untuk kelangsungan air tanah pada CAT adalah adanya peta konservasi air tanah, di situ akan tergambarkan daerah mana yang kritis dan mana yang masih bisa di ekploitasi airnya. Dan agar CAT tidak rusak maka pengelolaan CAT harus dilakukan dengan cermat, cerdas dan tegas," tegas Rudy.(TN)