Beragam perizinan dibutuhkan, bahkan sampai izin petir diperlukan. Tak hanya urusan swasta, proyek berlabel strategis sekalipun sama ribetnya saat mengurus izin.
Pada suatu ketika, seorang pengusaha berbisik akan ribetnya masalah perizinan di negeri ini. Ceritanya sederhana saja, si pengusaha ingin bangun pabrik di sebuah wilayah. Nyatanya tidak sesederhana itu. Untuk mendapatkan izin butuh kesabaran ekstra dan banyak meja yang harus dilalui.
"Izinnya banyak dan panjang. Sampai ada izin petir segala," ujarnya sambil tergelak.
Berikut sebagian izin yang disebutkannya: izin lokasi, izin warga setempat, izin mendirikan bangunan, sertifikat laik fungsi, izin industri, izin perdagangan, izin pembuangan limbah, izin petir, izin limbah B3 dan masih banyak izin lainnya.
"Izin tersebut hampir semua berlaku di kabupaten dan kota dan sudah pasti tidak ada yang gratis," bisiknya, kali ini tersenyum kecut.
Memori dua tahun lalu itu kembali teringat, kala Galumbang Menak membuka ruwetnya masalah perizinan dalam acara webinar media sila dengan tema ‘Apa Kabar Tol Langit?’, Selasa (14/9).
Bahkan secara berseloroh, Presiden Director Moratelindo, ini mengatakan, "Saya rasa jika planet Mars ada gelaran infrastruktur jaringan mungkin lebih sulit Indonesia kali yah."
"Ada izin untuk jalan nasional lah, jalan kabupaten, provinsi. Lalu ada izin crossing jalur kereta api, jalan tol, PAM dan seterusnya. Itu izinya masing-masing, hanya untuk gelaran 60-70 kilometer jaringan saja. Ini tidak terjadi di negara lain lho, seharusnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saja yang berurusan dengan departemen lain," ujarnya blak-blakan.
Bisa jadi Galumbang tak mampu lagi menahan kejengkelannya soal urusan perizinan. Dia mencatat untuk membangun jaringan dari Jakarta ke daerah Cikarang saja, bisa menyentuh hingga 29 perizinan.
"Kita sama-sama mengetahui, bahwa dalam gelaran infrastruktur jaringan bukan masalah uang, tapi regulasi kita tidak friendly," tegasnya.
Oke bisa jadi itu karena swasta, jadinya proses perizinan jadi merentang panjang. Bagaimana dengan proyek pemerintah. Jawabnya, sama saja. Bahkan untuk proyek berlabel strategis nasional sekalipun.
Anang Achmad Latif, Direktur Utama Badan Aksesiblitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Kementerian Komunikasi dan Informatika, pun mengungkapkan hal serupa. Bahkan dalam sebuah kesempatan, dirinya mengungkap, BAKTI cukup menjadi pihak yang mengerjakan proyek. Sementara, urusan izin diserahkan ke pemerintah agar lebih mudah dalam masalah koordinasi.
"BAKTI cukup sebagai pihak yang mengerjakan proyek, sedangkan perizinan diserahkan ke pemerintah agar lebih mudah koordinasinya antar kementerian dan lembaga termasuk dengan daerah. Hasilnya sama saja tetap sulit untuk mendapatkan izin," paparnya.
Bahkan keluhan senada juga muncul dari Presiden Joko Widodo. Bukan hanya sekali Presiden berkeluh, tercatat berkali-kali. Terakhir keluhan itu diutarakannya saat memberikan pengarahan kepada para kepala daerah di Jakarta secara daring, Rabu (28/4/2021).
"Saya ulang-ulang terus karena masih banyak, saya dengar urusan perizinan terhambat dan lama sehingga investasi, baik dari yang kecil, menengah atau besar terhambat gara-gara perizinan yang tidak cepat," ujar Presiden Jokowi yang tak ragu menyebut bahwa Indonesia adalah negara yang penuh dengan aturan.
Presiden Jokowi tak mampu menyembunyikan kekecewaannya terhadap persoalan klasik yang selama ini belum bisa diselesaikan Indonesia. Bahkan saat meresmikan Kongres Ikatan Notaris Indonesia (INI) di Istana Bogor, 2019, kekecewaan itu dilontarkannya.
"Sebelum masuk mereka sangat antusias, tapi begitu masuk kita tahu semuanya betapa masih ruwetnya mengurus perizinan di negara kita," tegasnya
"Ruwet artinya lama. Ruwet artinya biaya yang harus dibayar lebih mahal. Ini problem yang selalu saya dengar dari investor-investor yang ingin masuk ke Indonesia. Artinya eksekusi kita ini lamban," lanjutnya.
Dalam urusan perizinan, peringkat Indonesia tidak baik-baik amat. World Economic Forum (WEF) yang mengeluarkan daftar peringkat negara paling kompetitif di dunia. Mengejutkan, karena Indonesia turun lima peringkat menjadi ke-50 dengan skor 64.6, lebih buruk dari 2018 yang berada di peringkat ke-45.
Sementara di kawasan ASEAN Indonesia berada di peringkat ke-4. Peringkat ini di bawah Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 27), dan Thailand (peringkat 40).
Dalam laporan tersebut, Singapura terpilih sebagai negara terkompetitif dalam The Global Competitiveness Report 2019 lembaga itu.
Sementara, laporan Bank Dunia tahun 2020, RI peringkat ke-73 dari 190 negara dalam kemudahan berusaha atau ease of doing bussiness.
Dari 10 topik yang dinilai, menurut Bank Dunia, ketertinggalan Indonesia setidaknya ada pada lima topik. Kelimanya adalah Memulai Usaha, Perizinan Konstruksi, Pendaftaran Properti, Perdagangan Lintas Batas, dan Penegakan Hukum terhadap Kontrak.
Peringkat ini menunjukkan bahwa pelayanan berbisnis di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia enggara, khususnya Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Peringat 50 atau 73, memang jauh lebih baik dibandingkan peringkat Indonesia pada tahun 2015. Saat itu Bank Dunia dalam ease of doing business atau kemudahan berusaha, menempatkan di peringkat 109 dari total 189 negara yang disurvei.
Posisi Indonesia kalah telak dibandingkan Singapura yang menduduki peringkat satu, Malaysia 18, Thailand 49, Vietnam 90, dan Filipina 103.
Data menunjukkan pada 2014 peringkat ease of doing business Indonesia di posisi ke-120 dari 190 negara lalu melompat ke posisi ke-106 pada 2015. Perbaikan berlanjut pada 2016 dengan berada di urutan ke-91 dan di peringkat ke-72 pada 2017. Sayangnya, setahun berselang, Indonesia turun satu tingkat ke posisi ke-73 dan bertahan di peringkat itu hingga 2020.
Berdasarkan data di atas, memang menunjukkan adanya perbaikan peringkat. Namun masih jauh dari target yang dipatok pemerintah yakni di peringkat 40.
"Kalau dilihat dari 2014 berada pada posisi di 120, sebuah lompatan yang baik. Tapi saya minta agar kita berada pada posisi 40," ujar Presiden Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait 'Akselerasi Peringkat Kemudahan Berusaha' di Kantor Presiden, Februari 2020.
Kembali kecurhatan Galumbang Menak soal perizinan, malah menjadi sarkas. Saat dirinya bercerita, "Banyak Walikota maupun Bupati yang kerap bilang ingin bangun smartcity di wilayahnya. Tetapi, kenyataannya susah untuk menggelar fiber optik masuk ke wilayah mereka."
"Regulasi pemerintah daerah saat ini belum sepenuhnya bersahabat dengan penggelaran fiber optik," pungkasnya. (TN)