trustnews.id

Cinta & Benci Plastik
ilustrasi sumber:google

Cinta & Benci Plastik

PERISTIWA Rabu, 06 Maret 2019 - 06:00 WIB TN

Plastik yang menjadi momok menakutkan ternyata bisa diolah kembali, bahkan menjadi bahan bakar minyak. Kesadaran masyarakat dan manajemen pengelolaan sampah menjadi kunci utamanya.

 

Bagi Fajar Budiono, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang lebih nikmat hidupnya dibandingkan Indonesia. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) itu tidak sembarang bicara, apalagi dalam masalah plastik. Bila negara lain, bahkan negara-negara maju pusing memikirkan cara membuang sampah plastik yang menumpuk, Indonesia secara tidak langsung dan alamiah telah memiliki sistem pemilahan dan pengolahan sampah plastik secara tradisional. Apa itu? “Pemulung,” jawabnya. 

Jika dikelola secara benar, lanjutnya, keberadaan plastik dan sampah plastik tidak perlu menjadi momok yang menakutkan dan sampai harus diatur dengan segala peraturannya.

“Sampah plastik merupakan mata pencaharian teman-teman pemulung. Tidak ada negara lain seindah Indonesia dan ada pemulungnya disitu,”ujarnya.

Sampah-sampah plastik yang dikumpulkan pemulung, lanjutnya,  bisa diolah kembali menjadi berbagai macam produk. Mulai dari mainan, campuran aspal hingga bahan baku otomotif. Hal ini pun sudah dibuktikan oleh pemerintah pada pembangunan di beberapa ruas jalan nasional, seperti Maros (Sulawesi Selatan), Denpasar (Bali) dan Tol Tangerang-Merak (Banten).

"Kita juga surprise bahwa bahan plastik yang dijadikan campuran aspal itu kantong kresek,” tegasnya.

Begitu juga dengan dunia otomotif yang mengarah ke Low Cost Green Car (LCGC) atau mobil ramah lingkungan. Dimana keberadaan plastik menjadi menjadi bahan baku pembuatan komponen industri otomotif.

“Keberadaan plastik sebagai komponen otomatif membuat harga jual mobil menjadi terjangkau mulai Rp100jutaan hingga Rp150jutaan,” paparnya.

Selain itu, plastik juga menjadi bahan baku utama bahan bangunan. Hampir semua material bangunan berbahan baku plastik. Mulai dari  pintu, jendela, pelapis dinding ruangan (plastik wallpaper), kran air, pipa dan polyvinyl Chloride (PVC).

“Sebenarnya ini potensi besar yang bisa dikembangkan, karena saat ini 70% bahan baku material masih impor,” tegasnya.

Dalam pandangan Fajar, semua potensi yang dimiliki plastik jangan sampai mati hanya karena kampanye anti plastik yang tengah ramai digelorakan. Termasuk rencana penerapan cukai terhadap produk plastik. Menurut Fajar penerapan cukai plastik ini tidak pro terhadap industri bahkan dinilai akan mematikan industri plastik dalam negeri.

"Padahal negara yang kuat harus punya bapak industri dan ibu industri. Bapak industri adalah industri lokal dan ibu industri adalah industri petrokimia,” tegasnya.

Ia pun memaparkan, pemakaian plastik per kapita di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, apalagi jika dibandingkan dengan Eropa. Di Indonesia penggunaan plastik baru diangka 23 kg per orang, beda jauh dengan Malaysia yang mencapai 50-60 kg per orang dan Singapura yang mencapai 70 kg per orang. Namun meskipun tergolong konsumen plastik rendah, Fajar menilai, Indonesia justru memiliki banyak masalah yang ditimbulkan oleh plastik. Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena manajemen sampah yang belum berjalan baik.

Menyikapi masalah ini, Fajar memberikan gambaran negara Taiwan yang berhasil bangkit dari keterpurukannya akibat sampah. Tahun 80-an, Taiwan dijuluki “Pulau Sampah” karena sampah berserakan dimana-mana bahkan memenuhi sungai. Namun sejak dilakukan penyadaran bahwa setiap orang wajib bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya, lambat laun Taiwan menjadi negara yang bersih bahkan mampu mengalahkan Jepang.

Berbeda dengan Bangladesh, meski kondisinya sama dengan Taiwan di tahun 80-an, namun Bangladesh gagal menjadikan negaranya yang berpenduduk 80 juta jiwa itu bersih sebagaimana Taiwan. Beberapa kebijakan pun diterapkan di sana, diantaranya melarang penggunaan kantong plastik dan berpindah menggunakan tas yang pada dasarnya juga berbahan plastik. Bahkan Bangladesh juga menerapkan cukai dan pajak plastik. Walaupun demikian aturan tersebut tidak membuahkan hasil. Hal ini lantaran manajemen pengolahan sampah yang tidak diperbaiki sekaligus rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan sehingga masih saja membuang sampah sembarangan.

“Hasilnya masalah sampah plastik di Bangladesh tidak juga terselesaikan hingga saat ini,” paparnya.

Melihat permasalahan sampah plastik, Inaplas tidak tinggal diam. Mereka sedang menggencarkan program Manajemen Sampah Zero (Masaro), yakni mengelola sampah di lokasi asal sampah. Caranya, pada proses pemilahan sampah, dibedakan antara sampah yang dapat didaur ulang dan sampah yang tidak dapat didaur ulang.

Khusus sampah yang bisa di daur ulang, seperti gelas, botol plastik, kantong plastik dan styrofom dikumpulkan lalu diolah kembali. Kemasan makanan berbahan Polistirena, misalnya, bisa diolah kembali menjadi beton ringan dan absorber (pembersih senyawa sulfur).

“Persoalannya bukan pada sampah plastiknya, namun manajemen pengelolaan sampahnya yang harus diperbaiki termasuk kesadaran masyarakat  untuk memilah sampah saat membuangnya. Sampah plastik bisa diolah kembali termasuk menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM),”tegasnya.(TN)