Kebijakan Biodiesel 20 menjawab ketergantungan Indonesia akan impor minyak. Begitu juga dengan kebutuhan minyak nabati dunia, Indonesia berpeluang sebagai pemasok utamanya.
Kabar baik itu datang dari Biodiesel 20 (B20). Kebijakan yang ditetapkan 1 September 2018 tersebut mengharuskan adanya pencampuran 20% Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel dengan 80% Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar.
Langkah B20 dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia akan minyak impor untuk menutup kekurangan produksi BBM. Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 780 barel per hari, sementara kebutuhan minyak di dalam negeri mencapai 1,6 juta barel per hari. Devisa negara pun terkuras Rp24 triliun untuk menambal kekurangan tersebut.
Di lain sisi, produksi sawit Indonesia melimpah ruah. Tercatat di tahun 2018 produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebanyak 43 juta ton. Atau, naik sekitar 12,5% dibandingkan 2017 sekitar 28 juta ton. Hanya saja, aksi boikot yang dilakukan Uni Eropa memberikan dampak yang cukup besar bagi Indonesia. Sebagaimana diketahui Uni Eropa, China dan India menjadi target pasar utamanya.
Dampak yang paling dirasakan dengan aksi boikot Uni Eropa ialah menumpuknya buah sawit. Sebagaimana diketahui, tanaman sawit tidak bisa dihentikan produksinya dan bila tidak diolah akan membusuk. Ujung-ujungnya para petani dan perusahaan sawit yang gigit jari karena buah sawitnya menumpuk.
Untuk mengatasi itulah, pemerintah mengambil kebijakan B20. Hasilnya, hanya dalam kurun waktu empat bulan saja, September-Desember 2018 Indonesia mampu menghemat devisa sebesar Rp 28,4 triliun. Penghematan terjadi karena pencampuran 20 persen minyak kelapa sawit ke dalam solar telah mengurangi impor BBM.
Harry Hanawi, Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), mengatakan B20 merupakan upaya pemerintah dalam mencari solusi karena jatuhnya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang hanya di angka Rp600 per kilogram. Dengan adanya kebijakan B20, harga TBS kembali naik menjadi Rp1.200- Rp1.500 per kilogram.
Selain itu, lanjutnya, B20 juga upaya pemerintah membangun ketahanan energi nasional. Tidak saja dalam usaha lepas dari ketergantungan impor minyak, namun bisa menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dunia dalam bahan bakar nabati.
“Sawit satu-satunya minyak nabati yang bisa memenuhi kriteria menggantikan fosil fuel (minyak bumi),” ujar Harry kepada TrustNews beberapa waktu lalu.
Bagi Harry, Indonesia bukan tidak mungkin menjadi pemain dunia untuk minyak nabati. Pertama, dari luas lahan, kelapa sawit membutuhkan jauh lebih sedikit dibandingkan luas lahan yang dibutuhkan kedelai, bunga matahari dan canola.
“Satu hektar lahan sawit bisa menghasilkan 5 ton minyak sawit pertahunnya, sedangkan dengan luas yang sama kacang kedelai hanya menghasilkan 0,5 ton. Artinya untuk bisa menyamakan produksi 5 ton, kacang kedelai membutuhkan lahan yang lebih luas,” paparnya.
Bila merujuk data dari Oil World Statistics tahun 2017, total penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati adalah 277 juta hektar dengan total produksi 199 juta ton. Perkebunan kedelai sendiri menggunakan total lahan 122 juta hektar untuk memproduksi 45,8 juta ton minyak, dengan produktivitas sebesar 0,4 ton per hektar.
Sedangkan perkebunan sunflower (bunga matahari) memerlukan 25 juta hektar untuk menghasilkan 15,9 juta ton minyak, dengan produktivitas sebesar 0,6 ton per hektar. Perkebunan rapeseed menggunakan 36 juta hektar lahan dalam memproduksi 25,8 juta ton minyak, dengan produktivitas 0,7 ton per hektar.
Adapun perkebunan kelapa sawit membutuhkan lahan yang paling sedikit yaitu 16 juta hektar untuk menghasilkan 65 juta ton minyak, dengan produktivitas 4 ton per hektar.
Berdasarkan data tersebut, menurut Harry, sudah bisa membantah kampanye hitam (black campaign) terkait kelapa sawit yang terus didengung-dengungkan, yakni penghancuran lahan (deforestasi). Justru sawitlah yang membutuhkan lahan paling sedikit dibanding lainnya.
“Kalau black campaign itu sudah agendanya LSM-LSM itu, namun kita juga sudah siapkan materi-materi yang bisa digunakan oleh stakeholder, Jadi mereka tidak bisa menggeneralisasi semua tindakan-tindakan di luar sustainability program yang kita buat,” tegasnya.(TN)