Sempat tertekan di awal pandemi, produksi alat berat tanah kembali bergairah. Ini terlihat dengan adanya krnaikan sekitar 34 persen pada kuartal III/202 secara tahunan (year-on-year/yoy) dengan jumlah mencapai 6.452 unit.
Jumlah tersebut hanya berbeda tipis dengan total produksi tahunan pada 2021, yakni sebanyak 6.740 unit.
"Pertumbuhan industri alat berat tertinggi itu di 2018 kemudian turun di 2019 lalu drop di 2020. Betul-betul drop akibat kian tingginya Covid-19. Kalau tidak salah produksinya di level 3.000," ujar Jamaludin, Ketua Umum Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) menjawab TrustNews.
"Tahun 2021 sudah kembali naik di level 6.000. Masuk 2022 produksi alat berat booming. Luar biasa kenaikannya," tegasnya.
Secara serapan, lanjutnya, sektor pertambangan paling tinggi daya serapnya dibandingkan sektor konstruksi. Ini dikarenakan proses pergantian alat berat sektor konstruksi relatif lebih panjang dibandingkan dengan sektor tambang.
"Sektor konstruksi pergantian alatnya cukup panjang, tidak seperti mining. Sehingga investasi alat untuk konstruksi sudah dimulai dari sebelum-sebelumnya," ungkapnya.
Dirinya pun membeberkan data serapan alat berat per sektor, yakni sektor pertambangan 40 persen, sektor forestry 25 persen, sektor konstruksi 20 persen dan sektor agro15 persen.
Tingginya penjualan alat berat, menurutnya, dipicu kenaikan harga komoditas batu bara sepanjang dua tahun terakhir.
Dia menjabarkan, porsi penjualan terbesar akan diisi oleh hydraulic excavator dan dump truck. Jika melihat secara kuantitas, permintaan hydraulic excavator masih didominasi kelas 20 ton yang banyak digunakan untuk sektor konstruksi. Sementara, hydraulic excavator kelas 200 ton banyak digunakan untuk mengisi ceruk pasar pertambangan.
Saat ini, kata Jamalludin, kendala utama yang dihadapi industri alat berat yakni ketersediaan komponen yang sebagian material masih impor.
Beberapa industri saling berebut mendapatkan komponen sejalan dengan pulihnya ekonomi nasional. Untuk itu, kata dia, industri dan pemerintah perlu meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Persoalan kedua, kata dia, menyangkut sumber daya manusia (SDM) yang masih terbatas. Saat pandemi berlangsung, banyak dari karyawan di industri alat berat yang dipangkas. Karena itu, saat ini ketersediaan SDM untuk industri alat berat sangat dibutuhkan.
Meski saat ini industri alat berat tengah 'kecipratan cuan' dari kenaikan harga komoditas, dia mengatakan Hinabi akan bersiap dengan potensi anjloknya bisnis pertambangan. Untuk itu, pelaku usaha akan mengalihkan penjualan ke sektor lain yang lebih potensial.
Pelaku industri sudah memahami bahwa industri alat berat memiliki siklus permintaan yang tidak stabil dengan siklus 10 tahun berjalan.
'Alat berat itu kayak rollercoster fluktuasinya gila sekali sekarang bisa tinggi tiba-tiba langsung rendah. Ini bisa dilihat sepanjang 2012 hingga 2020, naik tinggi lalu drop. Tantangan terberat memantaince karyawan dan memanagenya, missal karyawan sudah terlanjur banyak ternyata produksi sedikit, keep the people," pungkasnya. (TN)