trustnews.id

Depalindo: Pengelolaan Logistik Butuh Dukungan Besar Pemerintah
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID,. - “Peran pemerintah sangat penting dalam menunjang kinerja dan pengelolaan logistik. Kita pernah seperti ini (Vietnam-red) di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena di era ini ada Tim Khusus di bawah Menteri Koordinator (Menko) yang membentuk lembaga khusus untuk mengurangi biaya di pelabuhan dan memastikan kelancaran pengiriman barang,” terang Toto Dirgantoro kepada Trustnews belum lama ini.

Waktu itu, tepatnya di tahun 2005, Terminal Handling Change (THC) sebesar 150 $/ 20 fit dan berhasil diturungkan menjadi 95 $/ 20 fit. Terjadi penghematan 55 $/ 20 fit. Jika saat itu terdapat 7 juta tius dalam setahun, maka penghematan devisa juga penghematan bagi pelaku usaha sebesar 7 juta kali 55$ Amerika atau setara 375$ atau Rp 4 triliun lebih pertahun, sampai saat ini. Jika mengalikan ini dengan 15 ribu transaksi, maka penghematan mencapai sekitar 5,7 triliun rupiah per tahun. “Ini adalah penghematan yang langsung dirasakan oleh pelaku usaha. Pada saat itu, proses penukaran dokumen juga harus mematuhi standar yang ketat, termasuk kualitas dollar dan nomor seri yang tidak boleh rusak,” terang Toto meyakinkan.

Penghematan inilah yang tengah diperjuangkan Depalindo, termasuk soal mengangkat dan meletakkan kontainer kosong di depot. Pihaknya  telah m e n g ko m u n i k a s i k a n l a n g s u n g dengan  Menteri Perhubungan dan membentuk tim untuk mengatasi masalah ini. Namun, prosesnya agak lambat, sehingga kami juga melaporkannya ke Ombudsman. Ombudsman telah turun tangan, tetapi sampai sekarang belum ada hasil yang diberikan.

“Bahkan dari tahun lalu hingga saat ini, masalah ini masih belum terselesaikan. Salah satu hambatan utamanya adalah bahwa izin depo kontainer kosong dikeluarkan oleh dinas di daerah masing-masing, bukan oleh Kementerian,” terangnya.

Sayangnya, dinas-daerah tersebut tidak melakukan monitoring atau pengawasan yang memadai terkait dengan komponen tarif dan hal-hal lainnya, sehingga banyak depo yang tidak memiliki izin, hingga saat ini.

Dulu, dalam proses dokumen impor, importir harus mengurus dokumennya di Bia Juge terlebih dahulu. Setelah mendapatkan Surat Persetujuan Pemberitahuan Barang (SPPB) dari B2K (Bea Cukai), langkah selanjutnya adalah ke karantina.

Masalah muncul ketika karantina menolak barang untuk masuk karena ada masalah seperti hama atau lainnya. Importir yang sudah memiliki SPPB dan membayar pajak merasa dirugikan karena barangnya tidak bisa masuk. Kami memperhatikan bahwa di negara lain, proses karantina dilakukan sebelum barang tiba di B2K.

Jadi, ketika manifest turun, bagian yang berkaitan dengan karantina langsung menuju ke karantina, bukan ke B2K. Ini berarti bahwa importir harus mengurus karantina terlebih dahulu sebelum dokumen-dokumen lainnya bisa diproses. Setelah karantina selesai dan barangnya dinyatakan aman, maka dokumen-dokumen seperti BM (Bukti Masuk) dapat diproses.

Hal ini diakui Toto, memberikan keamanan tambahan untuk impor. Pihaknya melakukan perbandingan dengan Malaysia, bersama dengan ketua Ombudsman dan Kepala Balai Karantina, dan mencatat bahwa di Malaysia, karantina dilakukan sebelum B2K. Ini persis seperti yang usulkan Depalindo pola ini bisa diterapkan di Indonesia juga. “Kita gak harus tukar kan berarti kan itu penghematannya dan sampai hari ini jadi kalau di total 385 juta kali sekian tahun sudah berapa itu, nah begitu juga dengan dokumen fee,” pungkasnya.