TRUSTNEWS.ID,. - Asa membangun Indonesia menjadi negara yang besar seketika musnah saat krisis moneter 1998 melanda. Pertolongan yang datang dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menyelamatkan kondisi Indonesia, justru menjadi bab penutup dari upaya membangun bangsa yang besar itu.
IMF datang dengan membawa sejumlah syarat jika Indonesia ingin memperoleh pinjaman US$5 miliar untuk mengatasi krisis ekonomi. Salah satu klausul letter of intent berbunyi pemerintah tidak boleh lagi memberikan subsidi kepada IPTN. Artinya, pemerintah tidak lagi membantu IPTN menyelesaikan turboprop N-250.
“Jika PTDI tidak masuk yang disyaratkan IMF dan terus dikembangkan bersama PT PAL. Indonesia posisinya sudah sama dengan Korsel,” tegas Kaharuddin Djenod, CEO PT PAL Indonesia kepada TrustNews.
“Posisi turboprop N-250 itu dalam proses akhir uji terbang untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang nasional dan internasional dari Federation Aviation Agency Amerika dan sertifikasi layak terbang dari Joint Airworthiness Agency Eropa. Akhirnya terhenti,” tambahnya.
“Kita ingin meniru pola Jepang, Korea Selatan dan China dalam membangun kemandirian negaranya dengan menguatkan industri maritim,” tegasnya. Keyakinan Kaharuddin bukan tanpa alasan. Dia menunjuk keberadaan KRI Alugoro-405, kapal selam Diesel Electric, tercatat sebagai kapal selam pertama karya anak bangsa Indonesia.
Memiliki spesifikasi panjang 61,meter dan berkecepatan 21 knot, yang mampu berlayar dengan kemampuan jelajah lebih dari 50 hari. Selain itu, KRI Alugoro-405 yang dibangun dengan metode joint section memiliki prestasi zero defect pada proses pembangunannya.
Begitu juga kemampuan bangsa Indonesia dalam mengembangkan desain kapal Fregat Merah Putih mendapat pengakuan bahwasannya PT PAL sudah membangun cukup banyak kapal Angkatan laut, seperti Landing Paltform Dock (LPD), Kapal Cepat Rudal (KCR) dan Landing Dock (LD) Philippines.
Termasuk pembangunan Barge Mounted Power Plant (BMPP) 60MW Kolaka 2 sebagai produk lanjutan dari rangkaian pengadaan pembangkit listrik terapung sebesar 150 megawatt, yang tertuang dalam kontrak yang ditanda tangani pada 30 September 2019 silam, menyepakati pengadaan 3 unit kapal pembangkit listrik, yang terdiri atas dua unit dengan kapasitas masing-masing sebesar 60MW, dan satu unit dengan kapasitas sebesar 30 MW.
“Buat saya untuk menjadikan Indonesia Emas di 2045 syaratnya industri maritim harus jadi pemain global di tahun 2035 sebagai pijakan utamanya menuju 2045. Sisa waktu 10 tahun dari tahun 2035 sangat cukup, apalagi PT PAL yang langsung ke industri pertahanan. Ini basicnya melihat sejarah dunia. Tanpa itu Indonesia Emas hanya omong kosong,” paparnya.
Mengapa Jepang? Kaharuddin mengatakan, Jepang bisa bangkit meski mengalami kekalahan perang akibat dijatuhkankan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, di karenakan industri maritimnya yang kuat. Dari Industri ini lahirlah Suzuki, Kawasaki, Mitshubishi dan Sumitomo.
Adapun Korsel memiliki Hyundai Heavy Industries Holdings (HHIH) dan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering CO., Ltd (DSME). Dalam perkembangannya DMSE berpindah kepemilikan ke Hanwha OCEAN.
“Kalau melihat sejarahnya Jepang memulai industrinya dengan membangun program maritim. Program maritim awalnya digenjot untuk meratakan persebaran barang ke seluruh penjuru Jepang,” ujarnya.
Dalam perkembangannya, Jepang tumbuh menjadi salah satu negara pembuat kapal terbesar di dunia. Ini dikarenakan, inti dari industri maritim yakni perkapalan, pembuatan kapal dan teknik kelautan saling terkait erat.
Begitu juga dengan Korsel yang meniru pola yang dilakukan Jepang dengan membangun industri maritim. Setelah industri maritimnya kuat, barulah bergerak ke industri otomotif dan elektronik termasuk handphone dan gadget.
“Produk Samsung di dirikan pertama ialah galangan kapal, kemudian ada Hyundai dan Daewoo. Mereka awalnya buat industri maritim. Derivatif dari teknologi maritim ialah teknologi otomotif dan elektronik,” ujarnya.
Begitu juga dengan China, menurutnya, bisa menjadi pabrik dunia saat ini sudah dipersiapkan 10 tahun yang lalu. “Sebenarnya China bangkit menjadi industri seperti sekarang ini ketika menjadi industri kapal dunia tahun 2005 sebelumnya juga ada Korea, ada juga Jepang dan Amerika,” ujarnya.
“Polanya sudah ada. Jepang sukses. Pola ini di terapkan oleh Korsel dan China yang juga sukses. Indonesia pernah melakukannya, dihentikan oleh IMF. Mengapa tidak dilanjutkan lagi?” pungkasnya.