TRUSTNEWS.ID,. - Pada tahun 2005, perkebunan teh Indonesia membentang seluas 139.000 hektar, mencerminkan peran historis negara ini sebagai produsen teh global terkemuka. Namun, pada 2023, luas tersebut turun drastis menjadi hanya 97.560 hektare penurunan sebesar 29,8%.
Produksi pun ikut menurun, dari 166.000 ton pada 2005 menjadi hanya 116.506 ton pada 2023, penurunan sebesar 49.494 ton atau 58 29,8%. Ekspor yang sebelumnya kuat mencapai 83.700 ton pada 2007, kini hanya tersisa 35.970 ton pada 2023.
Ironisnya, ketika ekspor melemah, Indonesia tetap terus mengimpor teh. Selama periode Pada 2019-2023, Indonesia mengimpor rata-rata lebih dari 10.000 ton teh per tahun atau sekitar 30% dari total volume ekspornya.
Tanpa intervensi strategis, teh bisa saja menjadi kenangan masa lalu Indonesia sebuah skenario suram bagi negara yang memiliki tradisi panjang dalam dunia teh. Meskipun Indonesia merupakan produsen dan sekaligus pengekspor teh, tingginya kontribusi impor teh ini dapat merusak harga teh di pasar domestik menginat 72,5% impor teh Indonesia berasal dari Vietnam yang harga impornya sangat murah, rata-rata hanya USD 1 per kg teh kering, jauh di bawah biaya produksi teh Indonesia.
Hal ini disebabkan karena teh dari Vietnam pajak impor masuknya ke Indonesia adalah 0%, dan belum ditegakkannya non tariff barriers terutama aturan food safety BPOM untuk teh yang diimpor khususnya yang berasal dari Vietnam yang masuk ke Indonesia, dan tanpa sertifikat halal juga, serta sangat mudahnya aturan pengurusan administrasi impornya.
Aturan BPOM hanya efektif untuk teh yang diproduksi di Dalam Negeri, namun kurang efektif untuk diterapkan pada teh-teh impor terutama yang dari Vietnam. Selain masalah maraknya teh impor yang merusak harga pasar domestik teh Indonesia dan harga pucuk teh di tingkat petani, juga adanya teh Pastol (ampas teh botol) yang seharusnya digunakan untuk pupuk organik dan campuran pakan ternak, oleh oknum tertentu dikeringkan kembali kemudian ditambahkan perasa dan pewarna buatan atau kimia yang mungkin membahayakan kesehatan konsumen kemudian dijual sebagai teh kering dalam kemasan dengan harga sangat murah, sehingga hal ini juga mengurangi demand dari teh asli yang betul-betul diproses dari pucuk teh segar dengan proses pengolahan yang benar dan baik.
Dengan serangan impor dan Pastol yang merusak demand dan harga pasar dalam negeri teh tersebut, menyebabkan harga teh di pasar dalam negeri cenderung turun 4% per tahun. Dan harga pucuk segar teh di tingkat petani sudah sepuluh tahun ini masih tetap rendah, hampir tidak ada kenaikan harga pucuk, masih tetap berkisar antara Rp 2000 - Rp 3000 per kg pucuk segar tergantung mutu pucuknya.
Padahal biaya produksi teh terus meroket terutama biaya pupuk, tenaga kerja, dan ongkos angkut. Dengan kondisi ini, para petani teh tidak mampu untuk dapat bertahan hidup untuk mememenuhi biaya kebutuhan hidup dan biaya Pendidikan anak yang semakin mahal. Akhirnya banyak yang menjual kebun tehnya atau mengkonversi menjadi tanaman lain terutama sayuran yang sistem perakarannya sangat rentan dengan musibah banjir dan longsor dan bahkan konversi untuk penggunaan ke non pertanian terutama perumahan dan villa-villa.
Kondisi ini menekankan pentingnya kebijakan untuk melindungi keterpurukan harga teh di Tingkat petani, peningkatan produktivitas dan kualitas teh lokal untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan mengurangi dampak fatal dari membarjirnya impor teh terutama dari Vietnam dan teh limbah Pastol.
Lingkaran Kemerosotan
Mengapa industri teh Indonesia menghadapi tantangan seperti ini? Jawabannya terletak pada lingkaran setan. Harga teh yang rendah karena adanya gangguan pasar domestik membuat perkebunan tidak lagi layak secara finansial, sehingga perawatan perkebunan terabaikan. Hal ini mengakibatkan hasil panen yang lebih rendah, biaya produksi yang lebih tinggi, dan kualitas yang menurun yang pada akhirnya semakin menekan harga. Sejak 2001, sebagian besar perkebunan teh di Indonesia beroperasi dengan kerugian, di mana biaya produksi selalu lebih tinggi daripada pendapatan. Akibatnya? Perkebunan yang ditinggalkan, pengurangan tenaga kerja, dan melemahnya posisi Indonesia di pasar teh global. Meski situasi tampak suram, harapan belum sirna. Pemerintah Indonesia telah menyusun peta jalan komprehensif untuk kebangkitan industri teh hingga tahun 2045. Berikut rencana masa depan yang lebih cerah:
1. Perluasan Area Perkebunan
Pada 2045, Indonesia menargetkan perluasan perkebunan teh hingga 123.000 hektare. Ini mencakup rehabilitasi lahan perkebunan yang terbengkalai dan pembukaan perkebunan baru di lahan petani, eks-perkebunan, serta kawasan hutan sosial yang dikelola.
2. Meningkatkan Produktivitas
Targetnya adalah mencapai hasil rata-rata 2.500 kg teh kering per hektar per tahun, dengan dukungan program pemerintah seperti penyediaan benih unggul, subsidi pupuk, dan akses kredit usaha rakyat (KUR). Dalam suatu gerakan yaitu Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN) yang memerlukan komitmen yang tinggi dari Ditjenbun dan Disbun terkait terutama Disbun Jawa Barat, Jawa Tengah, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Yogyakarta dan di Provinsi serta Kabupaten lainnya yang masih ada Perkebunan Teh Rakyatnya.
3. Melindungi Produksi Domestik
Penegakan peraturan food safety BPOM untuk aneka jenis teh impor yang masuk ke Indonesia terutama untuk teh hijau daun (tidak difermentasi) dalam kemasan tidak melebihi 3 kg (Kode HS 0902 10 10), teh hijau selain daun (tidak difermentasi) dalam kemasan tidak melebihi 3 kg (Kode HS 0902 10 90), teh hijau daun (tidak difermentasi) dalam kemasan melebihi dari 3 kg (Kode HS 090220 10), dan teh hijau selain daun (tidak difermentasi) dalam kemasan melebihi dari 3 kg (Kode HS 0902 20 90), teh hitam (difermentasi) dan teh difermentasi sebagian daun dalam kemasan tidak melebihi 3 kg (Kode HS 0902030 10), teh hitam (difermentasi) dan the difermentasi sebagian selain daun dalam kemasan tidak melebihi 3 kg (Kode HS 090230 90), teh hitam (difermentasi) dan the difermentasi sebagian daun dalam kemasan melebihi 3 kg (Kode HS 0902 40 10), dan the hitam (difermentasi) dan teh difermentasi sebagian selain daun dalam kemasan melebihi 3 kg (Kode HS 0902 40 90). Demikian juga apabila sertifikat halal teh telah diwajibkan untuk produk produk lokal, maka wajib juga diberlakukan untuk aneka jenis teh impor. Aturan administrasi untuk dapat mengimpor teh masuk ke Indonesia juga perlu copy paste sebagaimana telah diberlakukan di Vietnam, China, dan Negara-negara Produsen teh lainnya.
4. Meningkatkan Daya Saing Global
Mengadopsi standar kualitas internasional seperti keamanan pangan HACCP, Certified Standar Teh Indonesia (STI) dari Dewan Teh Indonesia, dan beberapa persyaratan pasar untuk memenuhi permintaan pasar global sesuai negara tujuan ekspornya.
5. Meningkatkan Konsumsi Domestik
Upaya promosi dan pengembangan merek ditargetkan untuk meningkatkan konsumsi teh per kapita dari 0,34 kg menjadi 0,6 kg per tahun, memperkuat permintaan lokal.
6. Diversifikasi Sumber Pendapatan
Untuk bertahan, perkebunan teh didorong untuk diversifikasi usaha ke agrowisata dan intercropping dengan tanaman bernilai tinggi seperti kacang macadamia, buah-buahan, bunga, menggabungkan keberlanjutan bisnis dengan pelestarian ekologi.
Perkebunan teh bukan hanya aset ekonomi; mereka adalah penyelamat lingkungan. Terletak di dataran tinggi Indonesia, perkebunan ini berperan penting dalam mengatur sumber daya air dan mencegah banjir serta longsor, terutama di sepanjang sungai seperti Citarum, dan Ciliwung.
Melindungi perkebunan ini sangat penting bagi kesehatan ekosistem dan masyarakat di hilir. Industri teh Indonesia lebih dari sekadar sektor ekonomi ini adalah warisan budaya, sumber kehidupan bagi jutaan petani dan tenaga kerja, dan kunci konservasi lingkungan bangsa. Menyelamatkan industri teh bukan hanya soal ekonomi; ini adalah soal menjaga jiwa Indonesia.
Melalui sinergi reformasi yang konsisten, komitmen tinggi dari Pemerintah Pusat dan Daerah, komitmen dan semangat dari para petani dan para pelaku usaha di hulu dan hilir, dan Lembaga terkait antara lain Lembaga Riset, Universitas, maka akan ada solusi inovatif, dan jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Bagi pecinta teh Indonesia, harapannya adalah bahwa secangkir teh lokal berikutnya bukan hanya menjadi rasa dari masa lalu, tetapi juga perayaan untuk masa depan yang berkelanjutan.