
Di tepian laut Kalimantan Utara, di mana tambak-tambak udang berjajar bak lukisan alam, mimpi para petambak bersinar di bawah mentari. Udang, permata laut dari wilayah ini, telah lama menjadi tumpuan harapan. Sekitar tujuh dari sepuluh produk udang olahan di Kaltara menyeberangi samudra, menghiasi meja makan di Amerika Serikat.
Namun kini, angin kencang dari negeri Paman Sam mengancam ketenangan itu. Kenaikan tarif pajak impor yang diberlakukan pemerintah Amerika menjadi badai baru yang siap menerjang industri udang Kaltara.
“Kenaikan tarif ini bukan sekadar kabar biasa—ini ancaman serius,” ujar Ketua DPP Apindo Kalimantan Utara, Peter Setiawan, kepada TrustNews. “Jika permintaan anjlok, tambak-tambak bisa tutup, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Ini bukan hanya soal uang, tapi menyangkut kehidupan masyarakat.”
Menurut Peter, sekitar 30 hingga 40 persen pabrik pengolahan udang di Kaltara mengekspor produknya ke pasar AS. Kenaikan tarif impor akan menyebabkan harga udang melonjak, sehingga konsumen Amerika menjadi enggan membeli. Akibatnya, permintaan yang selama ini mengalir deras dapat surut seperti air laut yang mundur di kala pasang.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Kaltara tumbuh sebesar 4,6% pada tahun lalu dan diproyeksikan naik menjadi 5,4% pada 2025. Namun, proyeksi ini kini terancam akibat dinamika global.
Peter menjelaskan bahwa produsen berada dalam posisi serba sulit. Bila mereka menurunkan harga untuk menjaga pasar ekspor, margin keuntungan akan tergerus, bahkan bisa merugi karena biaya produksi di Indonesia terus naik. Sebaliknya, jika harga tetap dipertahankan, produk mereka berisiko ditolak pasar karena dianggap terlalu mahal.
“Pabrik terpaksa menekan harga, tapi itu membuat petambak terjepit karena biaya operasional mereka sudah tinggi. Di sisi lain, kalau harga udang di AS naik, konsumen akan beralih ke produk lain. Akhirnya, tambak kita yang menanggung kerugiannya,” jelasnya.
Kondisi ini diperparah oleh ketidakpastian ekonomi global yang sudah membayangi sejak meletusnya perang Rusia-Ukraina. Peter mencatat bahwa sejak konflik itu, efek domino terasa hingga ke Eropa—pasar penting lainnya bagi produk ekspor Indonesia.
“Di Eropa sekarang, banyak orang gajinya hanya cukup untuk makan dan bayar listrik. Tak ada lagi dana lebih untuk kebutuhan sekunder. Harga-harga melonjak, daya beli menurun drastis,” tambahnya.
Meski demikian, Peter menegaskan bahwa Apindo Kaltara tetap mendorong pelaku usaha untuk adaptif dan jeli membaca pasar global. Pihaknya juga terus mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk membuka lebih banyak akses pasar alternatif agar ketergantungan pada pasar Amerika bisa dikurangi.
“Dengan kondisi global yang sangat dinamis, pelaku usaha tidak cukup hanya mengandalkan angka pertumbuhan ekonomi. Mereka harus menyiapkan strategi diversifikasi pasar dan efisiensi produksi,” tegas Peter.
Apindo, lanjutnya, siap mendukung pengusaha Kaltara dalam bertahan dan mencari peluang baru. Ia berharap pemerintah turut aktif memperluas jalur ekspor ke negara-negara lain agar industri udang tetap hidup dan berkembang.
“Kita ingin agar ketergantungan pada Amerika tidak terlalu besar. Pasar kita harus lebih luas dan fleksibel,” pungkasnya.