trustnews.id

APPLTA Desak Penunjukan Langsung Untuk PLTA
Dok, Istimewa

APPLTA Desak Penunjukan Langsung Untuk PLTA

NASIONAL Kamis, 19 Juni 2025 - 10:17 WIB TN

TRUSTNEWS.ID - Sebuah pernyataan kontroversial terlontar dari mulut Zulfan Zahar. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) tanpa alih-alih meminta pemerintah mengubah kebijakan dari pemilihan langsung menjadi penunjukan langsung untuk proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Zulfan mengajukan dua argumen untuk penunjukan langsung bertumpu pada dua pilar: urgensi dan pragmatisme. Pertama, permintaan listrik jauh melebihi pasokan hydropower saat ini dan yang diproyeksikan. Pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan ekspansi industri Indonesia mendorong konsumsi listrik, dengan PLN, perusahaan listrik milik negara, berjuang untuk memenuhi kebutuhan.

“Target ambisius Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk pengembangan hydropower menegaskan perlunya tindakan cepat. Namun, pemilihan langsung terkenal lambat. Proses pengadaan bisa memakan waktu satu hingga dua tahun, sering terhambat oleh keterlambatan birokrasi, kesalahan teknis, atau sengketa,” ujar Zulfan Zahar kepada TrustNews.

“Hambatan ini berisiko menggagalkan tujuan energi terbarukan Indonesia dan meningkatkan ketergantungan pada subsidi bahan bakar fosil yang mahal, yang sudah membebani anggaran negara (APBN),” urainya.

Argumen kedua Zulfan adalah keuntungan finansial bagi PLN. Menurutnya, pengembang yang mengajukan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) kerap menawarkan tarif di bawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) PLN atau sesuai batas tarif dalam peraturan presiden (Perpres).

“Jika PLN mengamankan proyek pada atau di bawah tarif ini, perusahaan tidak mengalami kerugian, sehingga menghilangkan kebutuhan pemilihan langsung untuk menekan biaya,” jelasnya.

‘Bagi APPLTA, lelang menambah kompleksitas yang tidak perlu tanpa memberikan manfaat proporsional, terutama ketika pasar sangat condong ke arah permintaan,” tegasnya.

Dorongan untuk penunjukan langsung, menurutnya, tidak lepas dari risiko. Pemilihan langsung, meskipun tidak sempurna, mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, mengurangi potensi favoritisme atau korupsi.

“Penunjukan langsung dapat memicu pengawasan, terutama di negara dengan sejarah tantangan tata kelola dalam proyek infrastruktur besar,” ujarnya.

“APPLTA menyadari hal ini tetapi menyarankan bahwa kerangka kerja yang kuat dan standar untuk penunjukan langsung, misalnya mengamandemen peraturan yang ada dpat mengurangi kekhawatiran ini,” tegasnya.

Zulfan juga mengungkap tantangan lain, yakni kompleksitas inheren pengembangan hydropower. Selain keterlambatan konstruksi, proyek menghadapi rintangan lingkungan dan sosial, termasuk penolakan masyarakat dan dampak ekologis.

“Penyederhanaan pengadaan melalui penunjukan langsung dapat mempercepat persetujuan awal tetapi tidak mengatasi tantangan-tantangan berikutnya,” ujarnya

“Selain itu, periode gestasi proyek hydropower yang panjang berarti bahwa bahkan dengan penunjukan langsung, sektor ini mungkin kesulitan memenuhi jadwal ambisius RUPTL tanpa reformasi paralel dalam perizinan, pembiayaan, dan akuisisi lahan,” urainya

Dia menepis adanya suara-suara bahwa penunjukan langsung mencerminkan ketegangan yang lebih luas dalam transisi energi Indonesia. Baginya, pemerintah dapat mengeksplorasi model hibrida, seperti proses prakualifikasi yang memverifikasi kemampuan pengembang sebelum negosiasi langsung, untuk menggabungkan efisiensi dengan akuntabilitas.

“Merevisi Perpres untuk memungkinkan mekanisme pengadaan yang fleksibel juga dapat memberikan kejelasan dan dasar hukum untuk penunjukan langsung,” jelasnya.

Baginya, potensi hydropower di Indonesia sangat besar, menawarkan jalur menuju keamanan energi dan dekarbonisasi. Namun, mewujudkan potensi ini menuntut pragmatisme.

“Penunjukan langsung, jika dilaksanakan dengan ketelitian dan transparansi, dapat membuka potensi sektor ini, memastikan bahwa ambisi energi terbarukan Indonesia tidak terhambat oleh inersia birokrasi,” pungkasnya. (TN).