Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika menjaga Spektrum Frekuensi Radio (SFR) dari segala gangguan selama pandemi Covid-19. Sambil menyiapkan ekosistem jaringan 5G di Indonesia.
Pandemi Covid-19 tak hanya membuat orang melek internet, meski lebih tepatnya ‘membelalak’ terhadap penggunaan teknologi internet dalam kehidupan sehari-hari. Demi membatasi penyebaran virus, masyarakat mengubah pola komunikasi dari tatap muka menjadi komunikasi virtual mengandalkan internet. Perlahan manusia pun hidup dan tumbuh secara online atau manusia digital.
Di sisi lain, ketika terjadi perpindahan aktivitas ke ruang digital, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkominfo, Ismail, mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi syarat dan tantangan transformasi dari konvensional ke digital. Pertama, kebutuhan broadband yang besar dan berkualitas. Kedua, ketersediaan broadband itu di mana-mana.
“Jantungnya telepon seluler itu Spektrum Frekuensi Radio (SFR). Kalau SFR terganggu, maka seluler juga terganggu. Maka aktivitas transformasi digital di Indonesia sangat tergantung pada manajemen SFR,” ujar Ismail kepada TrustNews.
Dirinya bahkan mengaku, SDPPI mengalami tekanan yang tinggi karena tekanan masyarakat akan koneksi internet yang lambat (lemot) di awal masa pandemi. Apalagi saat itu, pemerintah menerapkan kebijakan Work from Home (WfH), belajar online di rumah dan semua kegiatan termasuk berbelanja dilakukan dari rumah (belanja online).
“Kami mengalami tekanan yang cukup tinggi dari masyarakat,” katanya mengenang situasi saat itu, “Bagaimana dalam kondisi Covid-19, Kemkominfo khususnya SDPPI, tetap harus bekerja menjaga SRF tetap bersih dan tidak mengalami gangguan. Gangguan itu tidak hanya pada komunikasi, tapi semua kebutuhan yang menggunakan frekuensi seperti penerbangan, pelayaran laut juga radar cuaca. Itu semua kita amankan supaya tidak ada gangguan,” paparnya.
Dia pun memahami kondisi masyarakat yang secara tiba-tiba harus melakukan segala sesuatunya dari rumah dan tidak bisa kemana-mana sebagai dampak kebijakan PSBB. “Telpon seluler menjadi tumpuan hidup, ruang survive,” ujarnya.
Ruang survive yang dimaksud, dalam kondisi pandemi dan PSBB, masyarakat harus bisa survive dalam kondisi tekanan ekonomi. Ini memaksa masyarakat berpindah dari berjualan dan membeli secara offline menjadi online.
Merujuk laporan AppsFlyer, perusahaan attribution global, di September lalu, yang membedah The State of Shopping App Marketing 2020 Edition, mengungkap, tingkat sesi in-app (waktu yang dihabiskan user dalam satu aplikasi) untuk kategori e-commerce dan shopping tercatat meningkat hingga 70% pada periode Februari-Juni 2020. Ini bertepatan dengan diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, masih dalam laporan AppsFlyer, para pengguna Android mengalami lonjakan angka konversi retargeting sebesar 2,3x antara Januari 2019 (3,5%) hingga Juni 2020 (7,9%). Serta konversi retargeting sebesar 50% antara Januari dan Februari 2020.
Puncak lonjakan konversi retargeting terjadi pada bulan Mei (8,1%)-Juni (7,9%) yang melampaui periode Q4 sebesar 36%. Indonesia mengalami penurunan penginstalan non-organik sebesar 40% antara bulan Oktober 2019 (6,2%) dan Januari (3,7%). Akan tetapi, terdapat kenaikan yang lambat menjelang bulan April (4,4%) tapi kemudian meningkat cukup drastis 15% pada Mei (5,7%).
“Perpindahan ke ruang digital di dunia ekonomi, menjadikan kapasitas dan kualitas SFR khususnya selular menjadi isu yang luar biasa penting,” paparnya.
Kemkominfo berupaya menjaga kapasitas dan kualitas SFR, agar produktivitas masyarakat tetap terjaga sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang diramalkan akan minus. Sebagai dampak dari terpukulnya sektor industri dan jasa.
Agar tidak terjadi gangguan, SDPPI mengajak para operator seluler untuk menyediakan investasi yang jauh lebih besar. Ini dikarenakan terjadi peningkatan dan perhitungan kapasitas tidak normal, sehingga dibutuhkan investasi tambahan agar ruang kapasitasnya lebih besar lagi.
“Disitulah peranan SDPPI mendorong dan membantu teman-teman operator seluler agar tersedia SFR yang jauh lebih besar dan mencukupi sehingga tidak ada gangguan. Karena itu SDPPI punya balai monitoring di seluruh Indonesia untuk menjaga gangguan itu,” paparnya.
Hal lain yang menjadi tantangan SDPPI, papar Ismail, terkait penyiapan SFR yang baru, yakni 5G dan memoderninasi sistem yang dimiliki, agar pengawasan di lapangan bisa efektif tanpa harus hadir secara fisik.
Khusus 5G, menurutnya, Kemkominfo terus menyiapkan ekosistem jaringan 5G di Indonesia. Syarat pertama, yakni fiberisasi. Dari jumlah Base Transceiver Station (BTS) yang sudah ada jangan sampai terjadi bottlenecking atau penyempitan saluran karena informasi yang disalurkan besar di ujung atau last mile dengan 5G tapi kemudian ke belakangnya terjadi pelambatan.
“Ini yang sekarang sedang dikerjakan oleh seluruh operator menggunakan fiberisasi untuk membangun fiber optik yang menghubungkan antar BTS itu. Tanpa fiberisasi, jaringan 5G juga tetap tidak dirasakan manfaatnya, hampir sama dengan 4G ketika terjadi bottlenecking," jelasnya.
Ismail menjelaskan syarat kedua implementasi 5G adalah aplikasi yang harus dibangun oleh operator seluler dan industri secara keseluruhan yang diutamakan membangun aplikasi lokal.
“Jangan sampai nanti kita membangun network 5G tapi isinya adalah aplikasi asing semua, sehingga tidak ada aplikasi lokal yang mengeluarkan karya anak bangsa karena pendapatan atau rupiah adanya di level aplikasi itu,” ujarnya.
Syarat kedua implemetasi 5G, lanjutnya, aplikasi yang harus dibangun oleh operator seluler dan industri secara keseluruhan yang diutamakan membangun aplikasi lokal.
“Jangan sampai nanti kita membangun network 5G tapi isinya adalah aplikasi asing semua, sehingga tidak ada aplikasi lokal yang mengeluarkan karya anak bangsa karena pendapatan atau rupiah adanya di level aplikasi itu,” ujarnya.
Adapun prasyarat ketiga berkaitan dengan digital talent atau Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan syarat ketiga bagi Indonesia untuk harus siap mengimplementasikan teknologi 5G.
“Jangan sampai teknologi 5G diimplementasikan tapi kita tidak mampu memelihara, tidak mampu melakukan pengembangan, tidak ada orang yang cukup untuk melakukan enhancement (peningkatan) dari kemampuan 5G itu, baik dari sisi operator juga dari sisi pengguna," pungkasnya. (TN)