trustnews.id

TERJERAT ATURAN NJELIMET EKSPOR
Sekjen Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Toto Dirgantoro

TERJERAT ATURAN NJELIMET EKSPOR

NASIONAL Rabu, 18 Agustus 2021 - 04:29 WIB TN

Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) berharap pemerintah memangkas sejumlah aturan yang justru memandulkan kinerja ekspor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Mei 2021 sebesar US$ 16,60 miliar. Posisi ini jauh lebih bagus kalau dibandingkan dengan nilai ekspor pada Mei 2020 yang sebesar US$ 10,45 miliar, maka capaian ekspor pada Mei 2021 melonjak 58,76% yoy.

Kenaikan pada Mei 2021 ini disebabkan kenaikan ekspor migas sebesar 66,99% dan juga kenaikan ekspor non migas sebesar 58,30%. Bila dilihat secara kumulatif dari Januari sampai Mei 2021 ini total nilai ekspor mencapai US$ 83,99 miliar.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020 berarti ekspor Indonesia selama Januari sampai Mei 2021 peningkatan 30,58%. Pada Januari sampai Mei 2020 nilai ekspor hanya US$ 64,32 miliar.

Sekjen Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Toto Dirgantoro, mengatakan, sebenarnya kinerja ekspor Indonesia saat ini turun dibandingkan dengan tahun 2019 sebelum pandemi.

"Memang ada peningkatan ekspor kita, baik di 2020 dan 2021. Namun belum bisa kembali seperti 2019," ujarnya menjawab TrustNews.

"Meski kita di GPEI juga tidak menutup mata 2020 dan 2021 ini pandemi menyebabkan terganggunya kegiatan industri, khususnya rantai pasok produksi dan logistik. Hanya saja, harus ada sinergi antara pemerintah dengan dunia usaha dalam upaya memperbaiki daya saing industri nasional di pasar global," paparnya.

Toto menyebut diantaranya, mengurangi aturan-aturan yang justru mempersulit pengusaha dalam melakukan ekspor, padahal negara tujuan ekspor tidak mensyaratkan yang 'njelimet'.

"Tujuan ekspor itu apa? Tentu berharap adanya uang yang masuk. Lalu kenapa dibuat aturan-aturan yang mempersulit diri sendiri, sementara negara pembeli tidak mensyaratkan. Sense of crisis tidak ada, padahal negara lagi butuh duit," ungkapnya.

"Harus ada aturan karantina. Harus ada izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk UMKM. Padahal buyer tidak mensyaratkan itu. Kecuali memang buyer ngomong tolong harus ada ijin ini baru kita urus. Sepanjang buyer tidak meminta ini dan itu, ya lepas aja. Akhirnya semua terhambat karena regulasi yang begitu panjang dan itu semua numpuk di bea cukai," paparnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan Impor yang justru diberikan kemudahan. Dia pun menyebut adanya 3 jalur pemeriksaan di Bea dan Cukai, yakni jalur merah, jalur hijau dan jalur kuning. Sementara pada umumnya di negara-negara lain hanya mengenal dua jalur yakni jalur merah dan jalur hijau.

"Dimana-mana di luar negeri adanya green and red line. Di indonesia red-nya dipindahin menjadi yellow," ujar Toto.

Gara-gara itulah, lanjutnya, GPEI mengirimkan surat ke Presiden Joko Widodo yang isinya 'minta tolong' untuk menghambat impor dan mengurangi maraknya barang selundupan dengan menghapus jalur kuning.

"Kita hanya ingin jangan ekspornya, tapi impornya yang dipersulit. Contoh saja, UMKM mau ekspor kerupuk udang ke Hongkong saja harus melalui aturan yang ketat, ujung-ujungnya nggak bisa ekspor karena terbentur aturan. Siapa yang rugi, pertama jelas pelaku usahanya dan kedua ya pemerintah karena tidak ada yang yang masuk," tegasnya.

Padahal lanjutnya, sisi lain dari pandemi memberikan momentum bagi Indonesia untuk bisa melakukan ekspor, karena permintaan sudah mulai tumbuh. Sementara beberapa negara yang jadi kompetitor belum membuka dirinya akibat pandemi.

"Kompetitor kita saat ini datang dari China dan Amerika Serikat yang sudah mulai jalan. Negara-negara kompetitor lain masih belum membuka dirinya," ungkapnya.

Dalam kondisi pandemi, menurutnya, ekspor menjadi satu-satunya peluang bagi Indonesia untuk segera bangkit. Sebab dengan adanya ekspor, maka roda ekonomi akan kembali bergerak dan lapangan pekerjaan kembali terbuka.

"GPEI hanya mengharapkan para pengambil kebijakan memiliki sense of crisis dengan memangkas aturan-aturan yang justru menghambat ekspor agar ekonomi tumbuh dan menggerakkan kembali industri. Selain itu ada keberanian membuat barier untuk produk-produk impor," pungkasnya. (TN)