JAKARTA - Pemerintah Indonesia dan Turki bersepakat untuk melakukan pertukaran nama jalan. Di Turki dihadirkan nama jalan Ahmet Soekarno, dan di Indonesia pemerintah Turki mengusulkan adanya nama jalan Ataturk.
Kedua nama jalan itu didasarkan pada nama dua tokoh nasional masing-masing negara. Seperti diketahui Soekarno adalah proklamator Indonesia, sementara Mustafa Kemal Ataturk adalah pendiri negara Turki modern.
Meski begitu, pergantian nama di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta, tidaklah bisa dilakukan sembarangan dan penentuan jalan pun tidak boleh terburu-buru.
"Pergantian nama sebuah jalan, tempat atau wilayah tidaklah mudah. Harus menggunakan berbagai kajian dan sosialisasi di wilayah tersebut. Karena selain akan membuat pekerjaan tambahan pada urusan administrasi, pergantian nama jalan seperti yang tengah dibicarakan akan dapat mengubah identitas sosial masyarakat setempat," ujar Direktur Media di Network Society Indonesia Ihsan Suri.
Ihsan Suri yang juga merupakan tokoh pemuda Betawi menambahkan bahwa Pemprov DKI Jakarta seharusnya tetap menjaga identitas budaya lokal dari penamaan sebuah jalan bukan menguranginya.
Karena itu, rencana penggantian nama jalan tadi haruslah dikaji secara serius. Namun, Ihsan Suri memahami bahwa pemberian nama Atartuk adalah bentuk balasan dari sebuah nama jalan di Turki yang sudah berganti nama jadi Ahmet Soekarno, dan perubahan nama tersebut untuk menunjukkan simbol kedekatan kedua bangsa.
Akan tetapi di Indonesia yang harus diperhatikan adalah proses administrasi panjang yang harus dilakukan oleh warga yang bertempat tinggal atau tempat usahanya terkena perubahan nama jalan tersebut sehingga pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus dapat memfasilitasi perubahan administrasi warga yang terkena dampak perubahan tersebut.
Karena, berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 28/1999 tentang perubahan nama jalan, taman dan fasilitas umum agar melibatkan masyarakat sebelum pengambilan keputusan perubahan nama jalan di DKI Jakarta.
Meski begitu, karena perubahan ini menyangkut diplomasi kedua negara, Ihsan Suri tidak menolak pemberian nama jalan yang berasosiasi ke negara Turki.
Ihsan Suri yang juga merupakan akademisi ini malah menyarankan bila untuk tetap menghormati hubungan dengan Turki nama jalan yang dipilih bisa nama kota, misalnya saja Istanbul atau Ankara seperti yang Indonesia lakukan dengan Maroko ketika memberi nama jalan Casablanca.
Sebab, lanjut Ihsan, bagi sebagian kalangan, khususnya kalangan Islam dan di sebagian tokoh-tokoh Betawi, nama Mustafa Kemal Ataturk dianggap sebagai tokoh sekuler yang menghancurkan kesultanan Turki Utsmani. Karena itu, banyak tokoh lokal khususnya Betawi yang belum bisa menerimanya.
Atau bisa juga bila ingin tetap memilih nama tokoh, pilih nama tokoh yang tidak menimbulkan kontroversi seperti Muhammad Al-Fatih, atau bahkan nama kesultanan Turki Utsmani.
"Bisa juga dengan mengadakan dengar pendapat atau FDG (Forum Discussion Group) untuk mendengar masukan-masukan dari masyarakat sebelum memutuskannya," tambahnya.
Terlebih Anies Baswedan selaku Gubernur DKI pernah mengatakan bahwa pengusulan perubahan nama jalan akan dibuat terstruktur sehingga tidak semua pihak bisa menentukan dengan mengajukan usulan
"Secepatnya kami akan segera bergerak ke DPRD DKI Jakarta untuk menyarankan nama jalan selain nama tokoh, tapi nama kota di Turki serta meminta untuk dilakukannya FDG sebelum pemerintah memutuskan nama apa yang akan digunakan," pungkas Ihsan Suri.