TRUSTNEWS.ID,. - OJK mengeluarkan peraturan terkait modal minimum dan modal inti BPR hingga Desember 2024. Sejumlah BPR melakukan penggabungan untuk menambah kapasitas size bisnis.
Badan Perkreditan Rakyat berganti nama. Kata 'Perkreditan' diganti 'Perekonomian' sehingga menjadi Badan Perekonomian Rakyat. Meski singkatannya tak berubah tetap BPR.
Pergantian nama ini seiring dengan diberlakukannya UU nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Perubahan singkatan itu membuat kinerja BPR lebih mudah dan cakupan kerjanya menjadi lebih luas.
Tedy Alamsyah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) mengatakan, penggunaan kata Perkreditan membuat citra BPR di masyarakat hanya mengurusi kredit.
"Padahal fungsi dan kegiatan BPR tidak beda dengan bank pada umumnya yakni lembaga intermediasi. Juga bisa menjalankan fungsi digitalisasi layanan, inklusi keuangan hingga edukasi ke masyarakat," ujar Tedy Alamsyah kepada TrustNews.
Sampai saat ini, lanjutnya, kinerja BPR secara keseluruhan masih tumbuh karena ada kepercayaan dari masyarakat di tengah pandemi, baik itu dana pihak ketiga, kredit dan aset.
"BPR masih melakukan fungsi pelayanan, khususnya ikut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional dengan tetap salurkan kredit dan berproses penghimpunan dana, sejauh ini masih sesuai tupoksinya," ujarnya.
"Sambil menunggu kebijakan pemerintah terkait Covid-19, kita tetap menggunakan kebijakan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Kota berharap kinerja industri menuju pemulihan dan ada momentum recovery," tambahnya.
"Kalau bicara kurva ini turun dan mungkin sampai 2025 kebutuhan modal kerja, investasi akan tumbuh. Di 2025 akan terjadi equilibrium terhadap permintaan khususnya kredit," paparnya.
Tedy juga meluruskan ragam pemberitaan terkait menyusutnya jumlah BPR dari 1.600 menjadi 1.400an BPR karena dibekukan. Persoalan utama adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR dengan batas waktu 31 Desember 2024.
"Tidak benar akan ada pembekuan BPR. Jangan bikin panik masyarakat di bawah. Bukan pembekuan, penyusutan jumlah karena sejumlah BPR melakukan penggabungan untuk memperkuat kapasitas size bisnis," tegasnya.
"Kita bicaranya secara kebutuhan bisnis dan melayani memang dibutuhkan modal yang lebih besar. Itu business need. Arahnya OJK di dorong dengan UU P2SK, berubah nama jadi Bank Perekonomian Rakyat, ruang lingkup bisnis industri lebih besar dan bisa go public. Secara singkat, pertumbuhan kita masih plus dan sudah double digit," tambahnya.
Sebagai informasi, hingga akhir Desember 2022, data mencatatkan kinerja positif dengan pertumbuhan kredit yang kembali pulih mencapai 10,91% yoy menjadi senilai Rp129,29T, total aset tumbuh sebesar 8,23% yoy menjadi senilai Rp182,30T dan dana pihak ketiga dengan pertumbuhan sebesar 8,49% yoy menjadi senilai Rp126,94T.
Namun, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 8,63% dari Rp 129,36 triliun menjadi Rp 140,52 triliun jauh lebih subur daripada pertumbuhan DPK bank umum 7,17%. Ujungnya, loan to deposit ratio (LDR) BPR menebal dari 74,87% menjadi 75,78%.
Kinerja BPR berdasarkan rasio keuangan relatif terjaga meskipun terdapat penurunan pada sebagian besar rasio. Resiko kredit cenderung meningkat dengan rasio NPL gross 7,89% dan NPL Net 5,23%. Permodalan relatif terjaga dengan rasio CAR 30,76%. Adapun rasio profitabilitas cukup terjaga dengan rasio BOPO sebesar 83,66% dan ROA sebesar 1,74%, serta rasio likuiditas menunjukkan perbaikan dengan LDR sebesar 75,83%.
"BPR itu lahir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Modalnya tahun 1988 hanya 50 juta, dan BPR lahir sebelum kemerdekaan namanya bank desa, lalu jadi bank pasar. Keluar Pakto 1988 namanya BPR, tujuannya pemberantasan rentenir, pengentasan kemiskinan, membantu sektor riil. Dikelola dan di dedikasikan untuk rakyat," pungkasnya.
(san)