TRUSTNEWS.ID,. - DPR resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-undang (UU). Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 masa persidangan V tahun sidang 2022-2023.
Rapat kali ini dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani, didampingi Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus, dan Rachmat Gobel.
“Apakah Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan dapat disetujui menjadi UU?” kata Puan di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
“Setuju,” sahut mayoritas anggota yang hadir. “Tok,” bunyi palu sidang diketok sebagai tanda disahkannya UU tersebut.
Menurut catatan Sekretariat Jenderal DPR RI, daftar hadir rapat paripurna ini telah ditandatangani oleh 105 orang, izin 197 orang, dan dihadiri oleh anggota dari seluruh fraksi yang ada di DPR RI.
Pengesahan RUU Kesehatan juga dihadiri langsung perwakilan pemerintah, di antaranya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej.
Kemudian jajaran Kemendikbudristek, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Keuangan.
Mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan ini. Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PPP, dan PAN.
Fraksi NasDem menerima dengan catatan. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan adanya RUU Kesehatan justru membuat pembiayaan yang tidak efisien menjadi transparan dan lebih efektif. Nantinya penganggaran kesehatan hanya akan sesuai kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK).
“Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menerapkan penganggaran berbasis kinerja dengan mengacu pada program kesehatan nasional yang dituangkan dalam RIBK menjadi pedoman yang jelas bagi pemerintah dan pemerintah daerah,” kata Budi.
Sebelumnya, Emanuel Melkiades Laka Lena, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan, memandang, RUU tersebut justru semakin memperkuat perlindungan nakes sehingga Komisi IX DPR mendorong agar nakes mendapatkan pengamanan dari segi hukum agar tidak mudah dikriminalisasi.
“Kalau ada kejadian kekerasan, serahkan terlebih dahulu ke teman-teman internal kesehatan. Ada berbagai majelis yang dipercaya untuk menegakkan disiplin etik, proses itu harus didahulukan sebelum masuk pada proses hukum,” katanya.
Selain itu, terkait pemanfaatan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing (WNA). Ia mengatakan pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri dan pemanfaatan tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA lulusan luar negeri harus memenuhi standar kompetensi.
“RUU Kesehatan akan memastikan tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA bisa praktek dengan syarat memenuhi kompetensi. Kami akan tetap mengutamakan tenaga medis dan tenaga kesehatan WNI,” katanya.
Namun, di lain sisi, keberadaan RUU Kesehatan ini pun mendapat penolakan keras dari sejumlah organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Salah satu isu yang santer disuarakan adalah rencana pemerintah mengambil alih wewenang organisasi profesi dalam ekosistem pendidikan kedokteran, sebab Indonesia perlu membuka lebih banyak program pendidikan dokter spesialis.
Saat ini Indonesia dihadapkan dengan permasalahan kekurangan jumlah dan distribusi dokter spesialis yang menyebabkan layanan kesehatan kepada masyarakat hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Salah satu upaya peningkatan jumlah dokter spesialis hingga menjangkau pelosok negeri ditempuh melalui pembukaan program pendidikan berbasis universitas (university-based) atau berbasis kolegium (college-based), seperti tertuang dalam usulan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah pasal 183 RUU Kesehatan.
Pasal tersebut juga mencantumkan program pendidikan spesialis berbasis universitas akan tetap ada dan memiliki kekhasan dengan muatan akademik dan penelitian yang lebih besar.
Akselerasi dokter spesialis ditempuh pemerintah dengan membuka alternatif pendidikan spesialis berbasis rumah sakit atau kolegium sehingga lebih banyak dokter bisa menempuh pendidikan spesialis.
Keterbatasan ini disuarakan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Brebes Rasipin yang menilai RUU Kesehatan bermanfaat bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan (nakes).
Dia pun mencontohkan, bagaimana dirinya sebagai seorang Direktur RSUD mengalami kesulitan saat membutuhkan tenaga dokter spesialis di rumah sakitnya yang tidak bisa diselesaikan secara cepat. Secara spesifik ia menyebut dokter spesialis bedah saraf.
“Spesialis bedah saraf yang dalam satu tahun paling hanya meluluskan paling banyak empat, dan itu kalau mengandalkan perguruan tinggi jadi lama untuk menyelesaikan masalah itu,” katanya.
Rasipin menilai banyak hal yang tidak bisa dikerjakan oleh organisasi profesi di bidang kesehatan. Terdapat beberapa kewenangan dari pemerintah di bidang kesehatan yang diperjelas dalam RUU Kesehatan tersebut.