trustnews.id

Askrindo Syariah Kinerja Tangguh di Masa Sulit
Dok, Istimewa

PT Jaminan Pembiayaan Asrindo Syariah menampilkan performa impresif sepanjang 2024. Di tengah tantangan ekonomi global dan ketidakpastian domestik.

Kinerja Askrindo Syariah pada 2024 menawarkan narasi ketangguhan yang menarik. Perusahaan mencatat kenaikan Imbal Jasa Kafalah (IJK), sumber pendapatan utama dari layanan penjaminan, sebesar 6,35% dibandingkan 2023. IJK berbasis program naik 3,2%, dari Rp510,6 miliar menjadi Rp527,16 miliar, sedangkan IJK non-program melonjak 13%, dari Rp263,23 miliar menjadi Rp297,07 miliar.

Pertumbuhan ini memperkuat pangsa pasar Askrindo Syariah sebesar 59% di industri penjaminan syariah Indonesia, mencerminkan kekuatan operasionalnya.

Portofolio penjaminan perusahaan juga tumbuh signifikan. Nilai kafalah baru mencapai Rp43,8 triliun pada 2024, naik 12,9% dari Rp38,8 triliun pada 2023. Basis klien membengkak 53,9%, dari 5 juta menjadi 7,7 juta debitur. Komposisi bisnisnya menunjukkan fokus strategis: penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) mendominasi dengan 61% pendapatan, diikuti UMKM non-program (29%), ritel dan korporasi (30%), pembiayaan konsumtif (4%), serta langkah awal ke kontra bank garansi dan surety bond (0,5%).

Kokok Alun Akbar, Direktur Utama Askrindo Syariah, mengaku optimistis terhadap masa depan, khususnya untuk penjaminan KUR, yang diperkirakannya akan mendorong pangsa pasar menjadi 68-70% pada 2025.

Potensi pembiayaan syariah yang masih besar, ditambah dengan kemitraan baru, menjadi landasan optimisme ini. Lini bisnis non-program juga diproyeksikan tumbuh 19% pada 2025, menyasar ritel komersial, kontra bank garansi, surety bond, dan ekosistem pembiayaan rantai pasok.

“Tahun ini menandai fase transformasi,” ujar Kokok Alun Akbar sambil melanjutkan, "Inisiatif strategis kami bertujuan menyeimbangkan ekspansi agresif dengan disiplin prudensial.”

Menurutnya, prospek ekonomi Indonesia untuk 2025 jauh dari bergairah, dengan tantangan global dan kehati-hatian domestik meredam pertumbuhan.

Namun, Askrindo Syariah melihat peluang di tengah kesulitan. Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2025-2029 menguraikan strategi dua fase, yakni transformasi bisnis dalam jangka pendek, diikuti oleh pertumbuhan berkelanjutan. Fase pertama, yang sudah berjalan, melibatkan restrukturisasi organisasi, perluasan jangkauan pasar, dan peningkatan peran teknologi dari pendukung menjadi penggerak utama operasi.

“Teknologi bukan lagi sekadar pendukung. Ini adalah mesin agenda keberlanjutan kami," jelasnya.

Perkembangan regulasi turut mendukung ambisi ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini meluncurkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Penjaminan Indonesia 2024-2028.

Ketentuan kunci memungkinkan perusahaan penjaminan syariah meningkatkan rasio gearing—rasio penjaminan yang diterbitkan terhadap modal—menjadi 40 kali, menghapus perbedaan antara penjaminan produktif dan non-produktif.

"Kebijakan ini mengubah permainan, memperluas kapasitas Askrindo Syariah untuk menjamin produk produktif dan memungkinkan pendekatan pemasaran yang lebih agresif sambil mempertahankan standar penjaminan yang ketat," urainya.

Alun memandang peta jalan ini sebagai batu loncatan untuk fase berikutnya industri: konsolidasi dan pembangunan momentum pada 2026-2027.

“Perubahan regulasi ini memungkinkan kami mengoptimalkan kapasitas dan berkontribusi secara signifikan pada evolusi industri,” katanya.

"Perusahaan siap memanfaatkan peluang ini untuk memperdalam jejaknya di pembiayaan syariah, sebuah sektor yang masih dalam tahap awal namun penuh potensi," tegasnya.

Diakuinya, kenaikan Askrindo Syariah tidak lepas dari risiko. Pasar penjaminan syariah, meskipun berkembang, tetap merupakan ceruk dalam sektor keuangan Indonesia yang lebih luas. Persaingan semakin ketat karena pemain lain berupaya memanfaatkan peluang regulasi dan pasar yang sama.

Selain itu, ketergantungan perusahaan pada penjaminan KUR, meskipun menjadi kekuatan, membuatnya rentan terhadap perubahan kebijakan atau penurunan ekonomi yang dapat menekan permintaan pembiayaan mikro.

Mengembangkan segmen non-program, seperti pembiayaan rantai pasok dan surety bond, akan membutuhkan navigasi di wilayah yang belum dikenal, di mana risiko eksekusi cukup besar.

“Dengan diberlakukannya kebijakan ini dapat meningkatkan kapasitas penjaminan syariah, khususnya di produk produktif, sehingga dapat menjadi peluang bagi perusahaan dalam menerapkan kebijakan aggressive marketing dengan tetap menjunjung prinsip prudent underwriting dengan lebih optimal,” pungkasnya.