
Sebuah lonceng misa berdentang pelan. Suaranya tak menggelegar, hanya melayang lembut di antara pepohonan dan atap seng, menandai dimulainya hari yang tak biasa di Ladogahar—desa kecil di nyiur melambai Maumere Manise. Denting suci itu bukan sekadar panggilan ibadah, melainkan seruan bagi sebuah komunitas ekonomi yang telah lama belajar menabung dalam kesunyian dan membangun dari kekurangan—perlahan, tekun, dan setia.
Pagi itu, 8 Mei 2025, ratusan orang berkumpul di halaman kantor pusat KSP Kopdit Pintu Air. Tak ada kilatan kamera media besar, tak ada kemewahan protokoler. Yang hadir adalah mereka yang menyusun sendiri tangga menuju kemandirian: petani, pedagang kaki lima, guru honorer, hingga pekerja informal.
Kopdit Pintu Air hari itu menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) ke-29. Sebuah forum akuntabilitas yang juga menjadi ruang refleksi bagi koperasi yang sejak awal hadir sebagai jawaban atas jerat lintah darat.
Rapat dimulai dengan ketukan gong sebanyak tujuh kali oleh Romanus Woga, tokoh koperasi asal NTT yang telah lama dikenal di ranah koperasi kredit Asia. Tak ada pidato flamboyan darinya, hanya seruan lembut tentang solidaritas dan inovasi.
“RAT ini bukan sekadar forum administratif,” ujarnya. “Ini adalah kesempatan untuk meneguhkan kembali bahwa kita bukan sekadar anggota, tapi pemilik bersama. Dan masa depan kita, hanya bisa dijaga jika kita terus berinovasi.”
Inovasi di koperasi tidak selalu berarti teknologi canggih atau algoritma keuangan. Kadang ia hadir dalam wujud sederhana—seperti kehadiran petugas koperasi di kampung-kampung terpencil. Atau kerja sama dengan lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan, seperti yang dilakukan tahun ini, demi memberi perlindungan kecelakaan kerja dan kematian bagi seluruh anggota.
Namun hasilnya nyata. Hingga akhir 2024, KSP Kopdit Pintu Air mengelola aset lebih dari Rp2,2 triliun dengan omzet Rp1,9 triliun. Jumlah anggotanya menembus 435 ribu orang, tersebar di 59 kantor cabang, 15 kantor cabang pembantu, dan 49 titik pelayanan. Angka-angka itu bukan sekadar capaian finansial, tapi cermin dari sebuah model ekonomi yang menolak dikotakkan sebagai “tradisional” atau “modern”.
Yakobus Jano, Ketua Koperasi, dengan suara tenang namun penuh keyakinan, menyampaikan target baru yang mencengangkan: satu juta anggota dalam waktu dekat. Target ini bukan sekadar ambisi angka, melainkan refleksi dari keyakinan bahwa koperasi bisa menjadi aktor utama inklusi keuangan, bahkan di tengah dunia yang sibuk mengejar unicorn dan IPO.
“Kami tumbuh bukan karena modal besar, tapi karena kepercayaan yang terus kami jaga,” tegasnya.
“Dan kepercayaan itu tumbuh bersama pelayanan yang nyata,” tambahnya.
Di tengah derasnya arus keuangan digital dan godaan konsumerisme, Pintu Air memilih jalur yang lebih lambat tapi berakar kuat: prinsip 3M—rajin Menabung, rajin Meminjam, dan rajin Mengangsur. Prinsip ini sederhana namun revolusioner, terutama dalam konteks masyarakat yang kerap tak dilirik oleh sistem perbankan formal. Di koperasi, agunan utama bukan sertifikat tanah atau slip gaji, melainkan reputasi dan kedisiplinan.
RAT ke-29 juga menjadi momen mengenang dan menyalakan harapan. Sebuah buku berjudul “Menghimpun Pasir Nan Terserak dan Mukjizat Tuhan” diluncurkan, memuat kisah-kisah inspiratif para anggota yang perlahan mengubah hidup mereka—dari keterbatasan menuju martabat ekonomi. Kantor-kantor cabang terbaik menerima plakat penghargaan, bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai cermin kerja keras kolektif.
Namun di balik segala pencapaian, pertanyaan besar menggantung: mampukah model koperasi bertahan dalam gelombang disrupsi ekonomi global? Masihkah relevan lembaga yang dibangun dari gotong royong desa di tengah dunia yang kian terdigitalisasi dan terpusat?
Romanus Woga, dalam refleksi penutupnya, menyampaikan hal mendasar yang menjadi penopang semua harapan itu: koperasi bukanlah sekadar lembaga keuangan, melainkan sebuah peradaban kecil.
“Kita tidak sedang membangun koperasi untuk menjadi kaya,” katanya.
“Tetapi untuk tetap berdaya. Untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal sendirian,” pungkasnya.