trustnews.id

Dari Bahan Candaan Jadi Harapan Gerakan Baru Pemuda Tani
Dok, Istimewa

TRUSTNEWS.ID - Di kantin dan lorong-lorong kampus pertanian se-Indonesia, lelucon basi ini selalu mencuat disertai tawa sinis: “Mahasiswa kedokteran jadi dokter. Mahasiswa hukum jadi pengacara. Mahasiswa pertanian? Ya Tuhan, pasti pegawai bank atau wartawan!”

Humor kelam ini dengan lihai menyindir kenyataan pahit menjadi tawa pedih. “Jangankan turun ke sawah, yang lebih duluan turun malah semangatnya,” ujar R.S. Suroyo Jr, Sekretaris Jenderal Pemuda Tani Indonesia, sembari tersenyum.

Dalam diskusi panjang bersama TrustNews, Suroyo mengisahkan realitas tantangan regenerasi petani di Indonesia. Meski pertanian adalah sektor strategis, minat generasi muda untuk terjun langsung masih tergolong rendah.

“Riset saya saat mengambil doktoral di IPB menunjukkan bahwa hambatannya bukan pada profesi, tetapi pada mentalitas dan entrepreneurship,” ujarnya.

Masalah utama terletak pada ekspektasi pasca-kampus. Lulusan fakultas pertanian, tak seperti dokter yang bisa menjadi pekerja lebih dulu, sering kali langsung dituntut untuk menjadi pengusaha tani. Padahal, banyak dari mereka, seperti lulusan jurusan lain, lebih memilih jalur yang aman dan stabil—menjadi pegawai. Ketika peluang kerja di sektor pertanian minim, maka jalur alternatif seperti bekerja di bank, perusahaan, atau bahkan menjadi wartawan, terasa lebih realistis.

“Coba saja lihat, berapa banyak pabrik pupuk yang tersedia? Lowongan kerja di sektor pertanian juga tidak merata, apalagi di daerah asal mereka,” jelasnya.

Tawaran pekerjaan yang ada juga seringkali menantang: perkebunan di Kalimantan, misalnya, bukanlah tempat yang mudah dijangkau oleh lulusan muda dari Jawa. Hasilnya, tak sampai 30 persen lulusan pertanian yang benar-benar memilih berkarier di sektor pertanian.

Namun Pemuda Tani Indonesia, organisasi yang lahir dari rahim Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan kini mandiri, tidak tinggal diam. Organisasi ini menjadikan regenerasi petani sebagai misi utama, dengan pendekatan yang membumi tapi progresif.

Program kerja Pemuda Tani dirancang dalam tiga tahap: menumbuhkan cinta, mendorong keterlibatan, dan mendukung perkembangan.

Tahap pertama adalah menanamkan kecintaan terhadap dunia pertanian melalui program seperti “Pemuda Tani Goes to School” dan “Goes to Campus”. “Kalau belum cinta, bagaimana bisa bertahan menghadapi tantangan?” katanya.

Setelah benih cinta tumbuh, tahap kedua adalah mendorong generasi muda untuk terjun langsung ke dunia usaha tani. Pemuda Tani memfasilitasi akses ke permodalan, benih, alat mesin pertanian, hingga pelatihan kewirausahaan.

“Kami bermitra dengan banyak pihak, termasuk Kementerian Pertanian dan perbankan. Anak muda tak bisa dibiarkan berjalan sendiri,” lanjutnya.

Tahap ketiga adalah membantu usaha tani para anggota agar berkembang dan berkelanjutan. Mereka didorong untuk mengikuti pameran, terlibat dalam program magang, hingga membuka jejaring pasar, termasuk ke luar negeri.

“Kami ingin menciptakan siklus regenerasi: mereka yang berhasil akan menginspirasi yang lain untuk ikut bergerak di sektor ini,” ujarnya.

Tak hanya dari sisi semangat, Pemuda Tani juga mendorong inovasi. Saat ini, mereka tengah mengembangkan aplikasi digital berbasis Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung budidaya pertanian presisi.

“Alatnya sudah ditancapkan di Bantul. Melalui sensor tanah, kami bisa tahu unsur hara, kelembaban, suhu, hingga arah angin. Dari situ, aplikasi memberi rekomendasi pupuk dan waktu tanam terbaik,” paparnya.

Di luar itu, Pemuda Tani juga mendirikan pusat-pusat pelatihan dan bisnis pemuda tani, seperti budidaya melon dan peternakan kambing di Serang, produksi beras merah dan hitam di lokasi lain, hingga pembesaran lobster laut di Kendari. Suroyo meyakini, teknologi dan inovasi adalah bahasa yang mampu menyapa generasi muda hari ini.

“Mengapa tidak ada yang bermimpi jadi inovator beras sebagaimana mereka bermimpi jadi pendiri startup fintech?” ungkapnya.

Baginya, regenerasi petani bukan sekadar menambah jumlah orang di sawah, tetapi menciptakan ekosistem pertanian yang relevan dengan zaman—lebih adaptif, lebih sejahtera, dan lebih menarik bagi generasi muda.

“Tanpa petani muda, tidak ada kedaulatan pangan. Tidak ada kebangkitan desa. Tidak ada keseimbangan,” pungkasnya. (TN)